Selasa, 04 Jun 2013
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was.
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Ibnu Abbas pernah melihat anaknya tidur
pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang)
tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian ulama salaf berkata:
"Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang
ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya
sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada' al-Albab (2/357),
Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih
(3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar
(1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang).” Selesai keterangan dari beliau.
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
. . . keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i.. . .
Mana yang Lebih Kuat?
Nampaknya pendapat kedua yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
yang menerangkan akan larangan itu tidak shahih. Sementara keterangan
ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak
disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi
syar'i. Yakni pada zaman dahulu masyhur di kalangan bangsa Arab dan para
tabib terdahulu, tidur sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan
bisa membahayakan fisik, maka mereka memakruhkan orang-orang tidur
sesudah 'Ashar supaya badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada
sunnah atau tasyri'. Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau
ahli kesehatan, jika benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan
maka seseorang tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan
dirinya. Sementara syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu.
Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar