Dalam
ruang pos satpam yang redup hanya terlintas sedikit cahaya yang mampu menjulur.
Aku telah terbiasa dengan kondisi ini ditambah bising jalan raya yang melintas tak mampu berhenti. Seperti biasa
pukul 3 sore sebelum pulang sang pemilik perusahaan Bos Andre pria berdarah
keturunan China bersenda gurau terlebih
dahulu bersamaku. Aku cukup akrab dengan beliau karena kami adalah tetangga.
“Heri,
tak terasa perusahaan ini telah berkembang pesat hingga menembus manca negara,”
Bos Andre dengan nada congkak membanggakan perusahaannya.
“Iya Bos, semoga perusahaan ini selalu mendapat perlindungan Tuhan.”
“Amin. Eh tumben gak ngambil rokok lagi puasa? Silahkan ini ambil aja.”
“Ah.. Gak. Saya niat berhenti merokok.”
“Hah... serius benarkah? Apa karena istrimu hahaha?” Bos Andre tertawa membuat sisi giginya yang hitam terlihat jelas.
“Iya, kemarin malam saya tak sengaja menyimpan putung rokok di saku baju. Itulah kebodohan yang membuat istri saya tau dan menangis di rumah. Jujur saya gak tega Bos, saya segera meminta maaf dan berjanji tak akan merokok lagi .”
“Wah, jadi kayak sinetron di TV romantis tapi.... itulah hidup punya beragam perbedaan,” Bos Andre mendadak menjadi bijak.
“Maaf, maksutnya apa?”
“Hem gini, kalau istri saya beda. Biarpun di rumah saya ngerokok semalaman sampai mentari kembali bersinar pasti dibiarkan dengan seribu bahasa.”
“Ah ya sudah, saya hanya bisa pasrah.”
“Iya benar, tapi coba pikir yakin kau bisa bertahan tanpa sebutir rokok seumur hidupmu nanti?”
“Entahlah saya juga tak tau pasti.”
“Ayolah Heri, jangan kalah dengan para pria masa kini. Cobalah walau sehari satu biji dari pada kau pulang dan terus terbayang kelezatan batang rokok. Hanya akan menyiksa batinmu.”
“Iya Bos, semoga perusahaan ini selalu mendapat perlindungan Tuhan.”
“Amin. Eh tumben gak ngambil rokok lagi puasa? Silahkan ini ambil aja.”
“Ah.. Gak. Saya niat berhenti merokok.”
“Hah... serius benarkah? Apa karena istrimu hahaha?” Bos Andre tertawa membuat sisi giginya yang hitam terlihat jelas.
“Iya, kemarin malam saya tak sengaja menyimpan putung rokok di saku baju. Itulah kebodohan yang membuat istri saya tau dan menangis di rumah. Jujur saya gak tega Bos, saya segera meminta maaf dan berjanji tak akan merokok lagi .”
“Wah, jadi kayak sinetron di TV romantis tapi.... itulah hidup punya beragam perbedaan,” Bos Andre mendadak menjadi bijak.
“Maaf, maksutnya apa?”
“Hem gini, kalau istri saya beda. Biarpun di rumah saya ngerokok semalaman sampai mentari kembali bersinar pasti dibiarkan dengan seribu bahasa.”
“Ah ya sudah, saya hanya bisa pasrah.”
“Iya benar, tapi coba pikir yakin kau bisa bertahan tanpa sebutir rokok seumur hidupmu nanti?”
“Entahlah saya juga tak tau pasti.”
“Ayolah Heri, jangan kalah dengan para pria masa kini. Cobalah walau sehari satu biji dari pada kau pulang dan terus terbayang kelezatan batang rokok. Hanya akan menyiksa batinmu.”
“Maaf
Bos, saya tidak bisa.”
“Beneran nanti kau menyesal lho, mumpung gratis istrimu juga gak bakalan tau kok.”
Aku tak mampu menolak gejolak nafsu dalam benakku sekaligus menolak tawaran Bos Andre yang terus memaksa. Akhirnya fikiran menghanyutkanku membut raga lumpuh.
“Bagaimana ya? Emh ya sudah saya coba satu terima kasih Bos.”
Aku sadar aku memang salah dalam sunyi aku hanya bisa berseru, “Dina maaf aku mengkhianatimu.”
“Beneran nanti kau menyesal lho, mumpung gratis istrimu juga gak bakalan tau kok.”
Aku tak mampu menolak gejolak nafsu dalam benakku sekaligus menolak tawaran Bos Andre yang terus memaksa. Akhirnya fikiran menghanyutkanku membut raga lumpuh.
“Bagaimana ya? Emh ya sudah saya coba satu terima kasih Bos.”
Aku sadar aku memang salah dalam sunyi aku hanya bisa berseru, “Dina maaf aku mengkhianatimu.”
Satu
bulan aku menjalani hari dengan kebohongan. Merupakan pemandangan yang biasa
tiap sore aku dan Bos Andre berjumpa
sekedar mengbrol dipadu dengan aroma rokok yang khas yang
membuat kepulan asap keluar bagai awan hitam tampak keluar jendela pos. Hingga
tiba malam-malam selanjutnya waktu yang menyeramkan datang menghadang. Aku ta k
bisa tidur nyenyak seperti dahulu lagi. Aku tak bisa menghentikan batuk yang
menyerangku. Namun esok hari keadaanku semakin parah dengan kondisi batuk tak
kunjung reda bahkan sakit yang aku rasa berlanjut dengan sesak napas yang amat
menyiksa membuatku mati rasa tak bisa
berbuat apa-apa. Hal yang paling mengerikan adalah ketika sesekali muntah
darah. Kau tau? Aku amat terkejut dengan yang aku lihat. Aku memang memiliki
kelainan yaitu hemotophobia atau takut darah.
Pagi
hari yang cerah tak bisa aku jalani seperti sedia kala. Aku izin tidak bekerja untuk
berobat ke puskesmas ditemani istriku yang lembut berpancar setia. Aku terkejut
mendengar pernyataan dokter bahwa gejala yang aku alami adalah penyakit yang sama
persisi dialami Ayah Dina hingga membuat beliau meninggal dunia. Mendengar
pernyataan dari dokter hatiku terasa ikut hancur. Aku segera pulang, selama
perjalanan pulang istriku diam saja. Namun sampai di rumah, aku terharu dengan
sikap istriku yang tetap ramah menetramkan jiwa, “Kakak istirahat dulu aja,
Dina siapkan obatnya dulu.”
Malam- malam berlalu meski tak seindah dahulu karena rasa sakit yang menggerogoti. Rasa batuk serta sesak napas belum juga hilang aku bagai makhluk antara hidup dan mati. Setiap malam aku merasa bagai manusia yang menjelma menjadi Zombi yang mengganggu keluargaku.
Malam- malam berlalu meski tak seindah dahulu karena rasa sakit yang menggerogoti. Rasa batuk serta sesak napas belum juga hilang aku bagai makhluk antara hidup dan mati. Setiap malam aku merasa bagai manusia yang menjelma menjadi Zombi yang mengganggu keluargaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar