Aku tepikan waktu
sekedar berkisah. Berkawan kereta dorong sandaran anakku Fatimah. Usianya terlampau
suci berkisar 1 tahun, masih membutuhkan perhatian atau rangakain kisah. Melayani
suguhan koran yang beredar aneka rasa dan wacana. Mengurai rona pelangi terbitan aneka kerikil hujan
gerimis maupun kilat cahaya mentari. Entah aku bingung harus tertawa atau
menangis. Sepintas judul merebah kasus wanita berjilbab sarjana King Saud
University. Nafasku berangsur lamban
mengamati foto bertengger di muka koran. Tak asing dengan sosoknya, tak
lain sahabat lama. Menyibak kembali tirai 10 tahun silam. Aisyah apa mimpimu
telah terkabulkan? Pertanyaan yang tak kunjung di jawab koran hari ini.
****
Perkenalkan Aisyah
Fatimah teman baruku di bangku SMA. Anak pindahan asal desa kini tinggal berdua
dengan neneknya. Awal kedatanganya menyulut perhatian kami. Tampak hal mencolok
berbeda denganku bahkan seluruh siswi di kelas. Padahal kepayahan musim kemarau
masih betah menyelimuti tetapi kain yang menutup kepala, rambut, dan lehernya.
Bahkan seluruh tubunya kecuali muka dan telapak tangan terbungkus rapat seakan
membawanya ke dunia lain dimensi. Aisyah sebagaimana wali kelasku
memperkenalkan berarti mawar merah. Mungkin kau berada dalam dunia dongeng bila
melihat teman baruku ini. Pada pandangan pertama seolah menggambarkan imajinasi
nyata. Bibirnya merah merona duplikasi mawar merah, kulit seputih kapas, bulu mata nan lentik, dan mata yang jernih.
Hummm aku bergumam, mengakui pesona kecantikanya yang tetap tak dapat disembunyikan.
Sekilas aku mengamati pribadinya
yang pendiam. Bukan berarti ia suka menyendiri atau malas bergaul dengan kami.
Memang sesekali ia ikut berkecimpung berbincang-bincang dengan anak-anak di
kelas. Yah sekedar membahas perkara-perkara tertentu berkisar ilmu pengetahuan,
tugas, PR, sekolah, atau apapun yang mana dikalangan kami adalah hal
membosankan. Tapi itu bukan masalah yang berarti, sebagaimana tamu kami masih
menghargai mungkin ia masih canggung belum menampakkan jati diri yang asli.
Tak disangka lebah
berjumpa madu. Dua insan terlahir sempurna dipertemukan tak terduga. Bintang
anak OSIS yang tenar dengan beragam kelebihan wajah tampan, supel, pandai, dan
kaya asal kelas sebelah luluh jatuh hati pada Aisyah. Bagi kami Aisyah teramat beruntung
dicintai wujud Pangeran. Meski banyak kalangan wanita remuk hati mengalah tekuk
lutut. Niat untuk menembak menjadikan
Aisyah pacar seakan menguak fatamorgana. Gempar gagap gembita dua kelas yang
berlatar belakang berbeda bersatu mengatur segala prosesi demi kelancaran. Siang pulang sekolah adegan segera dimulai kertas/ karton bertulis terima,
bunga-bunga, pita-pita bahkan video untuk merekam telah siap. Tak semulus Arjuna
menarik busur asmara bahkan Bintang gagal menempatkan panah cinta. Aisyah lugu
menolak, "Maaf, aku belum siap. Aku takut pada Allah."
Masih berkutat sering kali
aku memergoki modus Bintang. Aisyah diajaknya pulang bersama dengan sepeda motor
keren merek Suzuki Satria miliknya. Tapi lagi-lagi ada saja akal cadangan Aisyah
untuk menolak. Perlahan kelasku yang aman menanam konflik panas. Ratna ketua
kelas penyandang gelar ratu gossip dengan gerombolon teman-teman level famous mulai menajamkan kuku.
Rutinitas harian dikala dentum bel
istirahat Ratna dan teman-teman mengobrol sambil makan atau minum di kelas. Tak
ketinggalan aku juga tertular ikut nimbrung. Percakapan berujung membicarakan Bintang
pria yang telah lama ditaksir Ratna. Berbagai keluh kesal ia tumpahkan hingga
menyeret nama anak baru kelasku. Amat besar keheranan Ratna pada Aisyah, anak
baru super aneh dan kampungan asal desa begitu cepat menyihir fikiran
Bintang. Ratna tak habis fikir topeng Aisyah yang nampak polos nan lugu hanyalah
bujuk rayu. Ia yakin diluar sejatinya Aisyah
cewek cabai yang suka cari muka. Bahkan
dibumbuhi anggapan liar bisa jadi ia anggota islam radikal atau aliran sesat.
Berubung jaringan teroris mulai menyebar sebagaimana sorak sorai radio dan TV
masih gencar mengabarkan kebengisan ledakan bom Bali. Fenomena membuktikan dikala istirahat Aisyah selalu absen,
meghilang baik di kelas, kantin maupun koperasi. Pasti suatu ritual khusus
sedang ia geluti. Sebagai pendengar setia aku hanya mengangguk atau menggeleng
mendengar celotehnya. Sempat aku berfikir ganjil tapi tak bertahan lama aku hanyut
sepakat.
Selang beberapa hari
Aisyah sering duduk sendiri. Kami sekelas waspada dengan jaga jarak berpedoman
takut terpangaruh pribadinya yang buruk. Istirahat aku tak lagi bersama
kawan-kawanku yang mengajak ke kantin. Kebetulan Ibu memasakkan bekal istimewa.
Aku beranjak mencuci tangan di wastafel, yah mengorbankan sedikit waktu dan
tenaga keluar kelas. Tiba-tiba aku mendengar suara isakan tangis bersumber dari
musholla dekat wastafel. Bulu kudukku merinding ngeri, disamping akalku terus
melawan tak mungkin ada hantu di siang bolong. Aku memiringkan kepala melihat
sepasang sepatu berjajar di rak. Aku tertegun mengenal betul pemilik sapatu
dengan oramen bunga-bunga berlatar warna hitam agak pudar. Aisyah sedang apa
dia disini? Dilumur penasaran aku memutuskan masuk musholla. Sesorang berukuh
putih mengangkat tangan diiringi aroma tangis. Entahlah sebagai wanita hatiku
tersiram embun cahaya antara haru dan iba. Usai berdoa ia mengusap tangan ke
wajah berlanjut menatapku kaget.
"Anggi, sedang
apa? Mau shalat juga?" Jawabnya nampak kacau.
"Ah, tidak
kebetulan aku mencuci tangan di wastafel terus lihat sepatumu. Kamu menangis
kenapa?" Ujarku penasaran.
"Ouh gak
apa-apa," jawabnya mengelak.
"Ais maaf ya, mungkin selama ini aku ada
salah," ujarku malu mengakui.
"Salah apa ya?
Maaf aku gak ngerti," jawabnya polos seperti biasa.
"Kalau gitu kenapa
kamu menangis?" Tanyaku belum menyerah.
"Hemm iya, pagi
tadi tanganku berdarah tergores duri bunga
mawar," ujarnya terus terang sembari menunjukkan tangannya yang dibalut.
"Astaga apa masih
sakit?" Tanyaku histeris.
"Sebenarnya sudah
tidak, aku takut ini isyarat banyaknya dosaku," ujarnya lirih sunyi.
"Ah yang bener
aja, setauku kamu memang anak yang baik," seruku tulus.
"Emm tidak juga,
bahkan aku tidak ada artinya dibanding tumbuhan yang membuat luka ini. Seluruh
alam semesta bahkan tumbuhan senantiasa berdzikir pada Allah," jawabnya menunduk meminang tangannya, jawabannya terekam
meghipnotis kalbuku.
Nampak tilas isu-isu
yang dibicarakan teman-teman tak seseram yang diduga. Aisyah berperisai rendah
hati samar-samar dari hidupnya penuh misteri.
Bersamanya syahdu aku haus meneguk kedamain dekat dengan Tuhan. Alhamdulillah
akal sehatku masih normal bebas dari budak perasaan. Terbukti justru omongan
teman-teman menyembur bisa mematikan, bersumber konflik kecemburuan semata. Uh…Hanya saja ada satu hal yang membuatku
dihimpit penasaran pada Aisyah.
“Ais, kenapa sih kamu
betah dengan jilbab apa gak sumpek?” Ujarku tampang tanda tanya.
“Hemm, ini peritah Tuhanku jadi aku jalankan suka
hati,” serunya dengan tenang.
“Kenapa ya harus begini
bukankah malah mengekang?” Seruku agak tajam.
“Kau belum tau? Kain
jilbab ini telah mengalir dalam darahku. Memberi penjagaan serta semangat
setiap detik nafasku,” jawabnya memberi gambaran.
“Iya, tapi tidakkah kau
takut dicap teroris oleh orang?” Pertanyaanku terus memburu.
“Hemmm… Anggi masihkan
kita risau pandangan orang yang belum tentu benar. Lebih baik kita risau amal
kita dipandangan Allah kelak,” ujarnya sambil menghela nafas, betapa jawabanya
seolah menamparku.
Niatku bulat berjilbab
mengikuti jejak Aisyah bukan karena terpaksa atau gaya. Keikhlasan lebih mahal
dari segalanya. Sebagaiman jilbab mengajarkan cantik tak hanya rupa tapi hati
pula. Aku bersyukur bertemu sosok malaikat tak bersayap. Aisyah perangainya
yang menawan memancarkan semerbak harum inspirasi. Aku beruntung persahabatan yang
kami bangun berlandas cinta Allah membuka
gerbang jalan ke surga. Meski aku sadar tidaklah mudah, ada saja sambaran petir
mengintai. Pedas pembicaraan turut menjadikanku lahan sasaran. Meski hati panas
bercampur getir, cukuplah tameng keimanan membentengi badai serangan Ratna and the gank. Ah aku tak peduli corengan
serta cacian mereka. Aku percaya prinsip Aisyah, biar mereka bersenang-senang
memakan bangkai justru kebaikan terus ditransfer pada rekening amal kami. Dunia
dirombak sandiwara dibungkus cermin bayangan diri. Buat apa hobi mengeluh pada sesama
makhluk, toh mereka juga lemah tak ada daya. Hanya penguasa kehidupan Allah SWT
sebaik-baik tempat mengeluh gundah gulana, menyebrangi jembatan doa menjemput
ragam pemecahan yang menawan.
Sepulang sekolah Aisyah
menggenggam erat tanganku menuntun pergi ke suatu tempat. Aku yang serba
bingung diam seribu bahasa sementara kakiku bergerak laku tentara penurut. Kami berhenti tepat di sudut taman.
Aisyah antusias menujukkan jarinya pada daun-daun yang gugur. Aku menangkap hal
yang berbeda matanya haru biru senyum hangat
mengembang puas. Sepatah kata yang ia lantunkan menancap kuat di memoriku.……………………………
“Setiap makhluk telah ditentukan batas umurnya bahkan daun-daun yang berguguran. Aku berharap mataku diistirahatkan di tanah suci.” (LFA)
“Setiap makhluk telah ditentukan batas umurnya bahkan daun-daun yang berguguran. Aku berharap mataku diistirahatkan di tanah suci.” (LFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar