Sabtu, 18 Februari 2017

AISYAH



 

Aku tepikan waktu sekedar berkisah. Berkawan kereta dorong sandaran anakku Fatimah. Usianya terlampau suci berkisar 1 tahun, masih membutuhkan perhatian atau rangakain kisah. Melayani suguhan koran yang beredar aneka rasa dan wacana.  Mengurai rona pelangi terbitan aneka kerikil hujan gerimis maupun kilat cahaya mentari. Entah aku bingung harus tertawa atau menangis. Sepintas judul merebah kasus wanita berjilbab sarjana King Saud University. Nafasku berangsur lamban  mengamati foto bertengger di muka koran. Tak asing dengan sosoknya, tak lain sahabat lama. Menyibak kembali tirai 10 tahun silam. Aisyah apa mimpimu telah terkabulkan? Pertanyaan yang tak kunjung di jawab koran hari ini.
****
Perkenalkan Aisyah Fatimah teman baruku di bangku SMA. Anak pindahan asal desa kini tinggal berdua dengan neneknya. Awal kedatanganya menyulut perhatian kami. Tampak hal mencolok berbeda denganku bahkan seluruh siswi di kelas. Padahal kepayahan musim kemarau masih betah menyelimuti tetapi kain yang menutup kepala, rambut, dan lehernya. Bahkan seluruh tubunya kecuali muka dan telapak tangan terbungkus rapat seakan membawanya ke dunia lain dimensi. Aisyah sebagaimana wali kelasku memperkenalkan berarti mawar merah. Mungkin kau berada dalam dunia dongeng bila melihat teman baruku ini. Pada pandangan pertama seolah menggambarkan imajinasi nyata. Bibirnya merah merona duplikasi mawar merah, kulit seputih kapas,  bulu mata nan lentik, dan mata yang jernih. Hummm aku bergumam, mengakui pesona kecantikanya yang tetap tak dapat disembunyikan.
Sekilas aku mengamati pribadinya yang pendiam. Bukan berarti ia suka menyendiri atau malas bergaul dengan kami. Memang sesekali ia ikut berkecimpung berbincang-bincang dengan anak-anak di kelas. Yah sekedar membahas perkara-perkara tertentu berkisar ilmu pengetahuan, tugas, PR, sekolah, atau apapun yang mana dikalangan kami adalah hal membosankan. Tapi itu bukan masalah yang berarti, sebagaimana tamu kami masih menghargai mungkin ia masih canggung belum menampakkan jati diri yang asli.
Tak disangka lebah berjumpa madu. Dua insan terlahir sempurna dipertemukan tak terduga. Bintang anak OSIS yang tenar dengan beragam kelebihan wajah tampan, supel, pandai, dan kaya asal kelas sebelah luluh jatuh hati pada Aisyah. Bagi kami Aisyah teramat beruntung dicintai wujud Pangeran. Meski banyak kalangan wanita remuk hati mengalah tekuk lutut. Niat untuk menembak menjadikan Aisyah pacar seakan menguak fatamorgana. Gempar gagap gembita dua kelas yang berlatar belakang berbeda bersatu mengatur segala prosesi  demi kelancaran.  Siang pulang sekolah adegan segera  dimulai kertas/ karton bertulis terima, bunga-bunga, pita-pita bahkan video untuk merekam telah siap. Tak semulus Arjuna menarik busur asmara bahkan Bintang gagal menempatkan panah cinta. Aisyah lugu menolak, "Maaf, aku belum siap. Aku takut pada Allah."
Masih berkutat sering kali aku memergoki modus Bintang. Aisyah diajaknya pulang bersama dengan sepeda motor keren merek Suzuki Satria miliknya. Tapi lagi-lagi ada saja akal cadangan Aisyah untuk menolak. Perlahan kelasku yang aman menanam konflik panas. Ratna ketua kelas penyandang gelar ratu gossip dengan gerombolon teman-teman level famous mulai menajamkan kuku.  Rutinitas harian  dikala dentum bel istirahat Ratna dan teman-teman mengobrol sambil makan atau minum di kelas. Tak ketinggalan aku juga tertular ikut nimbrung. Percakapan berujung membicarakan Bintang pria yang telah lama ditaksir Ratna. Berbagai keluh kesal ia tumpahkan hingga menyeret nama anak baru kelasku. Amat besar keheranan Ratna pada Aisyah, anak baru super aneh dan  kampungan  asal desa begitu cepat menyihir fikiran Bintang. Ratna tak habis fikir topeng Aisyah yang nampak polos nan lugu hanyalah bujuk rayu. Ia yakin  diluar sejatinya Aisyah cewek cabai yang suka cari muka. Bahkan dibumbuhi anggapan liar bisa jadi ia anggota islam radikal atau aliran sesat. Berubung jaringan teroris mulai menyebar sebagaimana sorak sorai radio dan TV masih gencar mengabarkan kebengisan ledakan bom Bali. Fenomena membuktikan  dikala istirahat Aisyah selalu absen, meghilang baik di kelas, kantin maupun koperasi. Pasti suatu ritual khusus sedang ia geluti. Sebagai pendengar setia aku hanya mengangguk atau menggeleng mendengar celotehnya. Sempat aku berfikir ganjil tapi tak bertahan lama aku hanyut sepakat.
Selang beberapa hari Aisyah sering duduk sendiri. Kami sekelas waspada dengan jaga jarak berpedoman takut terpangaruh pribadinya yang buruk. Istirahat aku tak lagi bersama kawan-kawanku yang mengajak ke kantin. Kebetulan Ibu memasakkan bekal istimewa. Aku beranjak mencuci tangan di wastafel, yah mengorbankan sedikit waktu dan tenaga keluar kelas. Tiba-tiba aku mendengar suara isakan tangis bersumber dari musholla dekat wastafel. Bulu kudukku merinding ngeri, disamping akalku terus melawan tak mungkin ada hantu di siang bolong. Aku memiringkan kepala melihat sepasang sepatu berjajar di rak. Aku tertegun mengenal betul pemilik sapatu dengan oramen bunga-bunga berlatar warna hitam agak pudar. Aisyah sedang apa dia disini? Dilumur penasaran aku memutuskan masuk musholla. Sesorang berukuh putih mengangkat tangan diiringi aroma tangis. Entahlah sebagai wanita hatiku tersiram embun cahaya antara haru dan iba. Usai berdoa ia mengusap tangan ke wajah berlanjut menatapku kaget.
"Anggi, sedang apa? Mau shalat juga?" Jawabnya nampak kacau.
"Ah, tidak kebetulan aku mencuci tangan di wastafel terus lihat sepatumu. Kamu menangis kenapa?" Ujarku penasaran.
"Ouh gak apa-apa," jawabnya mengelak.
 "Ais maaf ya, mungkin selama ini aku ada salah," ujarku malu mengakui.
"Salah apa ya? Maaf aku gak ngerti," jawabnya polos seperti biasa.
"Kalau gitu kenapa kamu menangis?" Tanyaku belum menyerah.
"Hemm iya, pagi tadi tanganku berdarah tergores duri  bunga mawar," ujarnya terus terang sembari menunjukkan tangannya yang dibalut.
"Astaga apa masih sakit?" Tanyaku histeris.
"Sebenarnya sudah tidak, aku takut ini isyarat banyaknya dosaku," ujarnya lirih sunyi.
"Ah yang bener aja, setauku kamu memang anak yang baik," seruku tulus.
"Emm tidak juga, bahkan aku tidak ada artinya dibanding tumbuhan yang membuat luka ini. Seluruh alam semesta bahkan tumbuhan senantiasa berdzikir pada Allah," jawabnya  menunduk meminang tangannya, jawabannya terekam meghipnotis kalbuku.
Nampak tilas isu-isu yang dibicarakan teman-teman tak seseram yang diduga. Aisyah berperisai rendah hati samar-samar dari hidupnya penuh misteri.  Bersamanya syahdu aku haus meneguk kedamain dekat dengan Tuhan. Alhamdulillah akal sehatku masih normal bebas dari budak perasaan. Terbukti justru omongan teman-teman menyembur bisa mematikan, bersumber konflik kecemburuan semata.  Uh…Hanya saja ada satu hal yang membuatku dihimpit penasaran pada Aisyah.
“Ais, kenapa sih kamu betah dengan jilbab apa gak sumpek?” Ujarku tampang tanda tanya.
“Hemm,  ini peritah Tuhanku jadi aku jalankan suka hati,” serunya dengan tenang.
“Kenapa ya harus begini bukankah malah mengekang?” Seruku agak tajam.
“Kau belum tau? Kain jilbab ini telah mengalir dalam darahku. Memberi penjagaan serta semangat setiap detik nafasku,” jawabnya memberi gambaran.
“Iya, tapi tidakkah kau takut dicap teroris oleh orang?” Pertanyaanku terus memburu. 
“Hemmm… Anggi masihkan kita risau pandangan orang yang belum tentu benar. Lebih baik kita risau amal kita dipandangan Allah kelak,” ujarnya sambil menghela nafas, betapa jawabanya seolah menamparku.
Niatku bulat berjilbab mengikuti jejak Aisyah bukan karena terpaksa atau gaya. Keikhlasan lebih mahal dari segalanya. Sebagaiman jilbab mengajarkan cantik tak hanya rupa tapi hati pula. Aku bersyukur bertemu sosok malaikat tak bersayap. Aisyah perangainya yang menawan memancarkan semerbak harum inspirasi. Aku beruntung persahabatan yang kami bangun berlandas cinta Allah  membuka gerbang jalan ke surga. Meski aku sadar tidaklah mudah, ada saja sambaran petir mengintai. Pedas pembicaraan turut menjadikanku lahan sasaran. Meski hati panas bercampur getir, cukuplah tameng keimanan membentengi badai serangan Ratna and the gank. Ah aku tak peduli corengan serta cacian mereka. Aku percaya prinsip Aisyah, biar mereka bersenang-senang memakan bangkai justru kebaikan terus ditransfer pada rekening amal kami. Dunia dirombak sandiwara dibungkus cermin bayangan diri. Buat apa hobi mengeluh pada sesama makhluk, toh mereka juga lemah tak ada daya. Hanya penguasa kehidupan Allah SWT sebaik-baik tempat mengeluh gundah gulana, menyebrangi jembatan doa menjemput ragam pemecahan yang menawan.
Sepulang sekolah Aisyah menggenggam erat tanganku menuntun pergi ke suatu tempat. Aku yang serba bingung diam seribu bahasa sementara kakiku bergerak laku tentara  penurut. Kami berhenti tepat di sudut taman. Aisyah antusias menujukkan jarinya pada daun-daun yang gugur. Aku menangkap hal yang berbeda matanya haru biru senyum hangat  mengembang puas. Sepatah kata yang ia lantunkan menancap kuat di memoriku.……………………………
            “Setiap makhluk telah ditentukan  batas umurnya bahkan daun-daun yang berguguran. Aku berharap mataku diistirahatkan di tanah suci.” (LFA)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate by Google ( UBLO 7 )

Blogroll

About

Flag Counter