Sabtu, 18 Februari 2017

GEMURUH MASSA




Jarum jam masih betah menggelinding. Mengitari kehampaan relung hati Ibu dan Bapak. Untung air mata Ibu tak lagi mencair. Pasalnya Ibu telah bercermin pada takdir. Mengemis air mata tak akan mampu melunasi keadaan. Sekelumit kesabaran pada sang penguasa waktu, adalah senjata ampuh tak akan mengecewakan.. Begitulah rakitan motivasi Bapak pada Ibu dikala fajar menjelma. Dengan keuletan tingkat tinggi Ibu menempatkan ikan bakar serta rangkain sayur lengkap dengan nasi di sebuah kotak makan. Yah, Ibu masih ingat betul makanan favorit anak semata wayangnya  dikondisi genting seperti ini. Mungkin kenangan manis yang sedikit terkabur sebagaimana terakhir membungkus bekal 10 tahun silam setidaknya menjadi pelipur lara. Sementara Bapak sibuk memasukkan beberapa perlengkapan yang mungkin benar-benar dibutuhkan selama nanti di luar kota, sambil telinga Bapak merapat mengikuti siaran TV. Tiba-tiba telepon berdering mengindahkan perhatian Bapak cepat sigap mengangkat gagang telepon.  Tampak raut muka Bapak melukis cemas bertumpuk gundah.
            “Iya iya. Emh… Mas tenang saja saya segera kesana. Tolong tenangkan keadaaan restauran semampumu dulu ya!” Ujar Bapak ringkih memberi instruksi.
            Ibu yang dari tadi memata-matai ikut menelan ludah merasakan suatu ganjalan.
            “Ibu sudah siap? Sebelum kita ke pengadilan. Kita mampir dulu ya Bu di restorannya Rizki, ada kerusuhan disana kata Mas kasir,” Bapak mengabarkan dengan wajah pucat.
Ibu tak merespon banyak, hanya mengangguk bisu entah terlanjur paham atau terlebih dulu membaca fikiran Bapak, atau Ibu sedang memendam sesuatu namun tak ingin memperkeruh keadaan. Ibu menenteng sebuah tas pada lengan kanan sambil membuntuti laju Bapak yang tengah mengenggandeng sebuah koper hitam dengan garis zig-zag menuju mobil dengan tempo semakin cepat.

Tiba di muka restauran terkuak pemandangan tak seperti biasa. Halaman restoran yang keindahannya tak tertandingi menjadi tiada arti berkat aneka ornamen, taman, dan tempat parkir telah rata dipenuhi manusia-manusia yang tak lagi ramah. Bapak memutar pikiran mencari tempat parkir yang tersisa. Bapak menurunkan jendela berharap angin menyapa memberi kesegaran penghuni mobil. Nyatanya keadaan dijungkir balik, semakin terdengar keributan massa, erat mencekik ulu hati Bapak dan Ibu. Pekik suara massa melampiaskan makian dan hinaan atas nama anak jejakanya.       
“Ibu disini saja ya, biar Bapak yang turun menghadapi massa,” ujar Bapak menatap Ibu lekat, yang duduk persis disamping kanan setir.
            “Iya Pak, yang sabar ya Pak. Seperti yang Bapak bilang tadi “Innallah ha ma as sobirin” (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar). Ibu disini akan selalu doakan kebaikan keluarga kita,” seru Ibu menarik ucapan Bapak dikala pagi.
            “Iya, terima kasih Bu. Bismillah,” Bapak menjawab mantap sembari membuka dahan pintu mobil.
Bapak keluar mobil dengan batin masih terombang-ambing. Betapa tidak sang jagoan kebanggaan Ibu dan Bapak dikurung jalan nestapa. Begitulah siaran TV menjejakan mimpi seram. Ketika mendongakkan kepala ke depan tak terhitung jumlah massa yang berunjuk rasa. Padahal Bapak sedang tak ingin diselimut masalah baru. Tapi apa daya kenyataan menunjukkan mereka memang ada. Menghadapi massa yang dahaga, lagi pula sebenarnya apa tuntutan mereka? Bayang-bayang itu masih menggumpal dalam fikiran Bapak. Jalan menuju pintu masuk restoran tak ada harapan ditembus, gerombolan orang lengket berdempet menghalangi. Terpaksa Bapak berjalan mundur menapaki jalan pintas masuk ke dalam restoran lewat pintu belakang. Nurani Bapak disulap jernih, difilter ucapan Ibu layaknya alarm.  Kaki Bapak yang keras menapaki licin hijau rumput seolah mengajarkan arti ketegaran, membuat licin gerigi-gerigi di hati Bapak.

***
“Tuan apa yang mesti kita lakukan?”  Tanya sang kasir restoran tergopoh-gopoh menghampiri Bapak dikala pandangan pertama.
“Sebentar-sebentar, coba ceritakan bagaimana awal mula kejadian ini Mas?” Bapak menanggapi dengan tanda tanya.
“Iya, jadi begini Tuan. Awalnya ada orang yang pesan makanan. Namun setelah makan ia bersi kukuh tak mau membayar. Bahkan ia mengarang  alasan disini restoran telah bercampur harta rakyat. Jadi ia minta keadilan dalam arti ingin makan gratis,” tutur kasir panik dengan nafas masih tersengal-sengal.
“Emh lalu bagaimana respon Mas?” Bapak mendengarkan kasir dengan seksama.
“Ya tentu tidak saya biarkan. Dari dulu setelah makan disini musti bayar dulu to Pak? Akhirnya karena orang ini masih ngotot. Ia dengan PD melangkah keluar restoran seenaknya. Berubung saya tidak mau diam saja. Saya segera hubungi satpam mengabarkan hal ini, alhasil sepeda montrnya kami sita,” kasir berkisah dengan antusias.
“Astagfirullah terus bagaimana?” Tanya Tuan tertegun penasaran mengorek kejadian.
“Iya, selang waktu beberapa jam. Orang ini datang lagi Pak, malah jadi provokator membawa banyak pasukan untuk berdemo. Para pelanggan yang sedang menikmati makanan menjadi bingung dan segera berhamburan keluar restoran. Saya pun bergidik ketakutan oleh karenanya segera kami kembalikan motornya. Namun ia dan massa tetap tak beranjak, semakin menjadi-jadi terus mengaduh dan menjelek-jelekan retoran ini,” jawab kasir terus terang.
“Hemmm… Jadi begitu. Baik, saya akan bertemu mereka, semoga masalah ini segera tuntas,” Bapak mencoba menggali jalan keluar.

****
Bapak tepat berdiri dekat pintu restoran menghadirkan raga di hadapan masyarakat. Jelas di pelupuk mata  berbagai lapis masyarakat berkerumun. Tua hingga muda, laki-laki dan perempuan. Mampu dibaca kepala-kepala mereka berkumpul membungkus satu misi demi menumpahkan keluh kesah oleh karenanya tak heran sering kali terbang suara-suara menghujam perih di telinga. Kedua bola mata mereka ikut bicara meluapkan amarah besar saat menatap Bapak. Kegeraman massa ikut melunturkan mental Bapak. Namun, karena Bapak tak ingin dijejali masalah demi masalah. Bapak berupaya menyudahi segera sebelum ulah massa semakin bringas bahkan merusak prasarana sekitarnya. Dengan jantung naik turun Bapak memberanikan diri berucap, berkawan tangan dingin memegang toa yang telah disiapkan kasir.
“Hadirin sekalian dengan ini kami segenap jajaran pengurus restoran mengucapkan beribu maaf atas ketidak nyamanan dalam pelayanan. Namun atas nama retoran Rizky yaitu anak kandung saya. Tolong jangan sangkut pautkan musibah yang ada dengan restoran ini,” seru Bapak dari palung hati.
Seorang berkulit hitam dengan baju kusut biru yang berdiri di baris terdepan segera menimpali, “Kami mengharap keadilan Tuan! Telah jelas kekacauan bangsa ini. Karena ulah tikus busuk yang berkeliaran di negara tercinta ini, tega nian memungut darah rakyat. Saatnya kita bangkit, meminta keadilan dan bertidak tegas. Sebagaimana TV  memberitakan kasus korupsi terdakwa pemilik restoran ini. Berarti tidak diragukan usahanya telah tercampur harta haram bukankah begitu hadirin?”
“Iya, setuju,” respon masyarakat yang melecit serempak seraya mengangkat tangan bersamaan. 
            “Baiklah hadirin, Sebenarnya apa sekarang yang kalian inginkan?” Keluh Bapak.
            “Iya Tuan, kami meminta hak kami.  Bila kalian masih peduli berilah kami makan gratis. Ada diantara kami mulai pagi berkokok hingga siang membakar kulit belum menelan sesuap nasi. Saatnya Anda memenebus dosa-dosa memberi sepenuhnya hak kami. Bagaimana saudara-saudara?”  Tak bosannya sang provokator  membujuk hasrat massa.
            “Iya, setuju,” hadirin kembali mengiyakan.

****
Bak semilir angin akhirnya aroma makanan hangat dan sedap menyebar rata di telapak tangan massa. Bahkan lebih dari itu para gelandangan luar ikut bergerombol menikmati makanan gratis. Memang pemandangan ini jarang-jarang beredar. Tanpa sadar Bapak terhipnotis suasana. Memang menakjubkan menyaksikan mereka makan dengan wajah girang dan super cepat. Betapa tidak, dengan susah payah mereka berebut lawan banyak orang. Meski telah dikumandangkan instruksi tertib semua akan mendapat bagian. Yah, tetap mereka tumpul telinga dan atusias ingin mendapat bungkusan makanan paling awal. Bapak mengelus dada, apa mereka jarang makan lezat atau jarang makan kenyang? Yah untunglah tak ada anak kecil disini bisa jadi keributan semakin mencekam.
            “Saudaraku apa kalian sudah kenyang?” Seru provokator kembali beraksi sembari mengunyah suapan terakhir.
Samar-samar raung massa berceceran, dari jawaban sudah, cukup, belum, atau masih lapar.
            “Saudaraku sekalian, sebagai perwakilan jutaan rakyat di Indonesia. Sebenarnya perlakuan ini belum setimpal. Tentu kita punya keluarga di rumah yang belum karuan makan. Bagaimana kalau kita meminta sebungkus lagi untuk keluarga kita? Jangan takut saudara, ini adalah hak kita!” Sang provokator kembali menuntut.
            “Iya, setuju,” lagi-lagi jawaban mereka bersatu, menuruti atau hanya sekedar ikut-ikut.

****
            “Hak gundulmu apa?  Udah miskin serakah pula,” seru kasir mendongkol sambil menjilat nasi yang menempel di sela-sela jari tangannya.     
            “Hus…Sudah-sudah biarin aja Mas, ucapan mereka juga gak 100% salah,” seru Ibu yang kebetulan lewat baru saja keluar mobil.
            “Eh ada Nyonya ternyata, tapi maaf Nya bukannya mereka main hakim sendiri ya?” Tanya kasir senyum kecut.
            “Hemmm….Iya memang. Mas ingat pelangi? Hujan yang membekukan tulang dan panas yang membakar dada, diantaranya akan muncul pelangi yang berhias indah bagi siapa yang mampu melihatnya.
            “Gimana maksutnya Nya, maaf saya kurang paham?” Tanya kasir memohon penjelasan.
            “Humm… Iya terkadang kita hanyut menyalahkan keadaan. Padahal ada misteri dibalik semuanya. Ujian yang melanda adalah skenario Tuhan untuk menyapa hati kita. Barangkali peristiwa ini untuk mengetuk pintu hati kami agar semakin terbuka dan berbagi,” Ibu menghela nafas kemudian menerangkan sambil membantu pegawai-pegawai membungkus makanan.
            “Emm… Iya Nya saya paham,” seru kasir mengangguk sepakat.
           
Pada kedua kalinya bungkusan makanan kembali melayang. Hanya saja para peserta berlaku lebih  jinak, tenang, dan tertib.Tak habis fikir Ibu merenung, apa karena kenyang mereka berlaku lebih halus? Setelah semua bungkusan makanan dibagi menyeluruh. Kawanan demo bernyanyi riang puas, tanpa disuruh mereka beranjak pulang meninggalkan restoran.
            “Uh… Akhirnya mereka bubar juga. Baiklah Mas, restorannya ditutup saja. Aku tau kalian telah lelah bekerja seharian,” seru Bapak menatap jam dinding sambil menyeka peluh.
            “Lho bener Tuan? Tapi masakannya masih sisa banyak bagaimana?” Sang kasir menyahut menumpahkan wajah bingung.
            “Iya gak apa-apa. Mas makan aja sama temen-temen yang lain, atau nanti bisa dibawa pulang,” seru Bapak sambil mengelus pundak kasir.
            “Yang bener Pak? Eh maksutnya Tuan? Baik terima kasih banyak lho Tuan,” nampak pelangi menghias wajah sang kasir.

Kring….kring… nyaring HP Ibu berbunyi, tanpa fikir panjang segera Ibu mengoneksi tombol. Nampak Ibu disambar takjub berlarut iringan wajah mekar. Usai telepon putus, Ibu menghadap Bapak.    
”Pak, Alhamdulillah hakim memutuskan anak kita bebas,” seru Ibu mata berbinar-binar.
 “Berarti Rizky gak salah ya Bu? Alhamdulillah Ya Allah.”
Segera Ibu dan Bapak sujud di lantai, para pegawai merekam pemandangan dengan hati luluh. (LFA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate by Google ( UBLO 7 )

Blogroll

About

Flag Counter