Jarum
jam masih betah menggelinding. Mengitari kehampaan relung hati Ibu dan Bapak. Untung
air mata Ibu tak lagi mencair. Pasalnya Ibu telah bercermin pada takdir. Mengemis
air mata tak akan mampu melunasi keadaan. Sekelumit kesabaran pada sang
penguasa waktu, adalah senjata ampuh tak akan mengecewakan.. Begitulah rakitan
motivasi Bapak pada Ibu dikala fajar menjelma. Dengan keuletan tingkat tinggi
Ibu menempatkan ikan bakar serta rangkain sayur lengkap dengan nasi di sebuah
kotak makan. Yah, Ibu masih ingat betul makanan favorit anak semata wayangnya dikondisi genting seperti ini. Mungkin
kenangan manis yang sedikit terkabur sebagaimana terakhir membungkus bekal 10
tahun silam setidaknya menjadi pelipur lara. Sementara Bapak sibuk memasukkan
beberapa perlengkapan yang mungkin benar-benar dibutuhkan selama nanti di luar
kota, sambil telinga Bapak merapat mengikuti siaran TV. Tiba-tiba telepon
berdering mengindahkan perhatian Bapak cepat sigap mengangkat gagang telepon. Tampak raut muka Bapak melukis cemas bertumpuk
gundah.
“Iya
iya. Emh… Mas tenang saja saya segera kesana. Tolong tenangkan keadaaan
restauran semampumu dulu ya!” Ujar Bapak ringkih memberi instruksi.
Ibu
yang dari tadi memata-matai ikut menelan ludah merasakan suatu ganjalan.
“Ibu
sudah siap? Sebelum kita ke pengadilan. Kita mampir dulu ya Bu di restorannya
Rizki, ada kerusuhan disana kata Mas kasir,” Bapak mengabarkan dengan wajah
pucat.
Ibu
tak merespon banyak, hanya mengangguk bisu entah terlanjur paham atau terlebih
dulu membaca fikiran Bapak, atau Ibu sedang memendam sesuatu namun tak ingin
memperkeruh keadaan. Ibu menenteng sebuah tas pada lengan kanan sambil membuntuti
laju Bapak yang tengah mengenggandeng sebuah koper hitam dengan garis zig-zag
menuju mobil dengan tempo semakin cepat.
Tiba
di muka restauran terkuak pemandangan tak seperti biasa. Halaman restoran yang
keindahannya tak tertandingi menjadi tiada arti berkat aneka ornamen, taman,
dan tempat parkir telah rata dipenuhi manusia-manusia yang tak lagi ramah.
Bapak memutar pikiran mencari tempat parkir yang tersisa. Bapak menurunkan
jendela berharap angin menyapa memberi kesegaran penghuni mobil. Nyatanya
keadaan dijungkir balik, semakin terdengar keributan massa, erat mencekik ulu
hati Bapak dan Ibu. Pekik suara massa melampiaskan makian dan hinaan atas nama
anak jejakanya.
“Ibu disini saja ya, biar Bapak yang
turun menghadapi massa,” ujar Bapak menatap Ibu lekat, yang duduk persis
disamping kanan setir.
“Iya
Pak, yang sabar ya Pak. Seperti yang Bapak bilang tadi “Innallah ha ma as
sobirin” (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar). Ibu disini akan
selalu doakan kebaikan keluarga kita,” seru Ibu menarik ucapan Bapak dikala
pagi.
“Iya,
terima kasih Bu. Bismillah,” Bapak menjawab mantap sembari membuka dahan pintu
mobil.
Bapak
keluar mobil dengan batin masih terombang-ambing. Betapa tidak sang jagoan
kebanggaan Ibu dan Bapak dikurung jalan nestapa. Begitulah siaran TV menjejakan
mimpi seram. Ketika mendongakkan kepala ke depan tak terhitung jumlah massa
yang berunjuk rasa. Padahal Bapak sedang tak ingin diselimut masalah baru. Tapi
apa daya kenyataan menunjukkan mereka memang ada. Menghadapi massa yang dahaga,
lagi pula sebenarnya apa tuntutan mereka? Bayang-bayang itu masih menggumpal
dalam fikiran Bapak. Jalan menuju pintu masuk restoran tak ada harapan
ditembus, gerombolan orang lengket berdempet menghalangi. Terpaksa Bapak
berjalan mundur menapaki jalan pintas masuk ke dalam restoran lewat pintu
belakang. Nurani Bapak disulap jernih, difilter ucapan Ibu layaknya alarm. Kaki Bapak yang keras menapaki licin hijau rumput
seolah mengajarkan arti ketegaran, membuat licin gerigi-gerigi di hati Bapak.
***
“Tuan apa yang mesti kita lakukan?” Tanya sang kasir restoran tergopoh-gopoh
menghampiri Bapak dikala pandangan pertama.
“Sebentar-sebentar, coba ceritakan
bagaimana awal mula kejadian ini Mas?” Bapak menanggapi dengan tanda tanya.
“Iya, jadi begini Tuan. Awalnya ada
orang yang pesan makanan. Namun setelah makan ia bersi kukuh tak mau membayar.
Bahkan ia mengarang alasan disini
restoran telah bercampur harta rakyat. Jadi ia minta keadilan dalam arti ingin
makan gratis,” tutur kasir panik dengan nafas masih tersengal-sengal.
“Emh lalu bagaimana respon Mas?” Bapak mendengarkan
kasir dengan seksama.
“Ya tentu tidak saya biarkan. Dari dulu
setelah makan disini musti bayar dulu to Pak? Akhirnya karena orang ini masih
ngotot. Ia dengan PD melangkah keluar restoran seenaknya. Berubung saya tidak
mau diam saja. Saya segera hubungi satpam mengabarkan hal ini, alhasil sepeda
montrnya kami sita,” kasir berkisah dengan antusias.
“Astagfirullah terus bagaimana?” Tanya
Tuan tertegun penasaran mengorek kejadian.
“Iya, selang waktu beberapa jam. Orang
ini datang lagi Pak, malah jadi provokator membawa banyak pasukan untuk berdemo.
Para pelanggan yang sedang menikmati makanan menjadi bingung dan segera berhamburan
keluar restoran. Saya pun bergidik ketakutan oleh karenanya segera kami kembalikan
motornya. Namun ia dan massa tetap tak beranjak, semakin menjadi-jadi terus
mengaduh dan menjelek-jelekan retoran ini,” jawab kasir terus terang.
“Hemmm… Jadi begitu. Baik, saya akan
bertemu mereka, semoga masalah ini segera tuntas,” Bapak mencoba menggali jalan
keluar.
****
Bapak tepat berdiri dekat pintu restoran
menghadirkan raga di hadapan masyarakat. Jelas di pelupuk mata berbagai lapis masyarakat berkerumun. Tua
hingga muda, laki-laki dan perempuan. Mampu dibaca kepala-kepala mereka
berkumpul membungkus satu misi demi menumpahkan keluh kesah oleh karenanya tak
heran sering kali terbang suara-suara menghujam perih di telinga. Kedua bola
mata mereka ikut bicara meluapkan amarah besar saat menatap Bapak. Kegeraman
massa ikut melunturkan mental Bapak. Namun, karena Bapak tak ingin dijejali
masalah demi masalah. Bapak berupaya menyudahi segera sebelum ulah massa
semakin bringas bahkan merusak prasarana sekitarnya. Dengan jantung naik turun
Bapak memberanikan diri berucap, berkawan tangan dingin memegang toa yang telah
disiapkan kasir.
“Hadirin sekalian dengan ini kami
segenap jajaran pengurus restoran mengucapkan beribu maaf atas ketidak nyamanan
dalam pelayanan. Namun atas nama retoran Rizky yaitu anak kandung saya. Tolong
jangan sangkut pautkan musibah yang ada dengan restoran ini,” seru Bapak dari
palung hati.
Seorang berkulit hitam dengan baju kusut
biru yang berdiri di baris terdepan segera menimpali, “Kami mengharap keadilan
Tuan! Telah jelas kekacauan bangsa ini. Karena ulah tikus busuk yang
berkeliaran di negara tercinta ini, tega nian memungut darah rakyat. Saatnya
kita bangkit, meminta keadilan dan bertidak tegas. Sebagaimana TV memberitakan kasus korupsi terdakwa pemilik
restoran ini. Berarti tidak diragukan usahanya telah tercampur harta haram
bukankah begitu hadirin?”
“Iya, setuju,” respon masyarakat yang melecit
serempak seraya mengangkat tangan bersamaan.
“Baiklah hadirin, Sebenarnya apa
sekarang yang kalian inginkan?” Keluh Bapak.
“Iya
Tuan, kami meminta hak kami. Bila kalian
masih peduli berilah kami makan gratis. Ada diantara kami mulai pagi berkokok
hingga siang membakar kulit belum menelan sesuap nasi. Saatnya Anda memenebus
dosa-dosa memberi sepenuhnya hak kami. Bagaimana saudara-saudara?” Tak bosannya sang provokator membujuk hasrat massa.
“Iya,
setuju,” hadirin kembali mengiyakan.
****
Bak
semilir angin akhirnya aroma makanan hangat dan sedap menyebar rata di telapak
tangan massa. Bahkan lebih dari itu para gelandangan luar ikut bergerombol
menikmati makanan gratis. Memang pemandangan ini jarang-jarang beredar. Tanpa
sadar Bapak terhipnotis suasana. Memang menakjubkan menyaksikan mereka makan
dengan wajah girang dan super cepat. Betapa tidak, dengan susah payah mereka berebut
lawan banyak orang. Meski telah dikumandangkan instruksi tertib semua akan
mendapat bagian. Yah, tetap mereka tumpul telinga dan atusias ingin mendapat
bungkusan makanan paling awal. Bapak mengelus dada, apa mereka jarang makan
lezat atau jarang makan kenyang? Yah untunglah tak ada anak kecil disini bisa
jadi keributan semakin mencekam.
“Saudaraku
apa kalian sudah kenyang?” Seru provokator kembali beraksi sembari mengunyah
suapan terakhir.
Samar-samar
raung massa berceceran, dari jawaban sudah, cukup, belum, atau masih lapar.
“Saudaraku sekalian, sebagai
perwakilan jutaan rakyat di Indonesia. Sebenarnya perlakuan ini belum setimpal.
Tentu kita punya keluarga di rumah yang belum karuan makan. Bagaimana kalau
kita meminta sebungkus lagi untuk keluarga kita? Jangan takut saudara, ini adalah
hak kita!” Sang provokator kembali menuntut.
“Iya,
setuju,” lagi-lagi jawaban mereka bersatu, menuruti atau hanya sekedar ikut-ikut.
****
“Hak
gundulmu apa? Udah miskin serakah pula,” seru kasir mendongkol
sambil menjilat nasi yang menempel di sela-sela jari tangannya.
“Hus…Sudah-sudah
biarin aja Mas, ucapan mereka juga gak 100% salah,” seru Ibu yang kebetulan
lewat baru saja keluar mobil.
“Eh ada Nyonya ternyata, tapi maaf
Nya bukannya mereka main hakim sendiri ya?” Tanya kasir senyum kecut.
“Hemmm….Iya
memang. Mas ingat pelangi? Hujan yang membekukan tulang dan panas yang membakar
dada, diantaranya akan muncul pelangi yang berhias indah bagi siapa yang mampu
melihatnya.
“Gimana
maksutnya Nya, maaf saya kurang paham?” Tanya kasir memohon penjelasan.
“Humm… Iya terkadang kita hanyut
menyalahkan keadaan. Padahal ada misteri dibalik semuanya. Ujian yang melanda
adalah skenario Tuhan untuk menyapa hati kita. Barangkali peristiwa ini untuk
mengetuk pintu hati kami agar semakin terbuka dan berbagi,” Ibu menghela nafas
kemudian menerangkan sambil membantu pegawai-pegawai membungkus makanan.
“Emm…
Iya Nya saya paham,” seru kasir mengangguk sepakat.
Pada
kedua kalinya bungkusan makanan kembali melayang. Hanya saja para peserta berlaku
lebih jinak, tenang, dan tertib.Tak
habis fikir Ibu merenung, apa karena kenyang mereka berlaku lebih halus? Setelah
semua bungkusan makanan dibagi menyeluruh. Kawanan demo bernyanyi riang puas,
tanpa disuruh mereka beranjak pulang meninggalkan restoran.
“Uh…
Akhirnya mereka bubar juga. Baiklah Mas, restorannya ditutup saja. Aku tau
kalian telah lelah bekerja seharian,” seru Bapak menatap jam dinding sambil
menyeka peluh.
“Lho
bener Tuan? Tapi masakannya masih sisa banyak bagaimana?” Sang kasir menyahut menumpahkan
wajah bingung.
“Iya
gak apa-apa. Mas makan aja sama temen-temen yang lain, atau nanti bisa dibawa
pulang,” seru Bapak sambil mengelus pundak kasir.
“Yang
bener Pak? Eh maksutnya Tuan? Baik terima kasih banyak lho Tuan,” nampak
pelangi menghias wajah sang kasir.
Kring….kring…
nyaring HP Ibu berbunyi, tanpa fikir panjang segera Ibu mengoneksi tombol.
Nampak Ibu disambar takjub berlarut iringan wajah mekar. Usai telepon putus,
Ibu menghadap Bapak.
”Pak, Alhamdulillah hakim memutuskan anak
kita bebas,” seru Ibu mata berbinar-binar.
“Berarti
Rizky gak salah ya Bu? Alhamdulillah Ya Allah.”
Segera
Ibu dan Bapak sujud di lantai, para pegawai merekam pemandangan dengan hati
luluh. (LFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar