Akhirnya HPku tertidur lelap. Kapan lagi coba?
Yah setidaknya harus punya peri ke-gadgetan (eh apa sih wkwwkwk) pasalnya masa
liburan di rumah waktuku
lebih produktif dengan melakukan aktivitas lain.
Beda banget kalau lagi di kampus sesibuk apapun yang namanya HP gak bakal
luput dalam pandangan (ada wifi gratis sih). Hingga tiba waktu masuk kuliah semester 2 yang sudah di depan mata. Oleh karenanya aku memutuskan membeli paket internet dengan alasan
sepele gak pingin
ketinggalan informasi terbaru. Bukanlah hal asing
setiap awal menghidupkan data seluler,
HP mendadak hang. Siapa lagi pelakunya
kalau bukan ulah aplikasi WA (Whatshapp). Wah ratusan pesan
membanjiri Hpku! Beberapa menit berlalu
saat kondisi HP mulai normal entahlah mataku langsung tertuju sebuah group WA
“ICP PGMI E”. Group termuda yang aku ikuti ini benar-benar memikat sobat. Dari
nama judulnya saja sudah menggetarkan jiwa, para member yang luar biasa (meski aku belum kenal semua heheh), isi
percakapannya pun terkadang sok berbahasa asing. Flashback merenungi dinamika alur
kehidupan. Ada rasa geli seolah menggelitik fikiranku.
*
Awal masuk kuliah dengan menyandang status MABA (cie pas polos-polosnya)
aku bahagia sekali dengan kelas baruku PGMI D. Kawan-kawan yang baik, kocak,
asyik, para dosen yang ramah nan budiman, dan kapasitas mata kuliah reguler yang
tak begitu memberatkan (coz sering
tugas kelompok). Karena begitu nyamannya bahkan isu tentang kelas istimewa
sebut saja kelas ICP (International Class Program) aku anggap angin lalu. Ada
juga beberapa alasan yang memberatkanku seperti beban pembelajaran yang lebih,
teman baru yang tentu persaingannya amat ketat, dan yang paling aku khawatir
mengganggu rutinitasku dengan quran (anyway
aku join HTQ). Menancap kuat di kepalaku
curhatan senior HTQ bahwa tiap tahunnya banyak anggotanya yang protol karena beragam alasan diantaranya karena
kewalahan membagi waktu. Parahnya waktu sosialisasi ICP setelah tanda tangan di
buku presensi aku sengaja mengambil kertas pendaftaran yang paling lusuh dengan
bagian pingirnya yang sedikit sobek (huh mirisnya). Selama kegiatan berlangsung
bukannya fokus memperhatikan pembicara di depan malah aku asyik mengerjakan
tugas dari dosen (maaf hehehe). Hari-hari pendaftaran tes ICP pun tak aku
gubris. Disamping itu aku sempat iseng bertanya ke teman-teman seputar kelas
ICP.
“Rek, apa kalian mau ikut tes ICP?”
Tanyaku.
“Kalau
aku gak,” ujar temanku F (nama inisial).
“Aku
ikut, ya coba-coba aja barangkali lolos,” ujar temanku A.
“Leh
emang motivasimu apa kalau umpama keterima ICP?” Tanyaku menambahkan.
“Aku itu
pingin banget ntar bisa ke Malaysia ya semoga aja,” Jawabnya dengan bahasa
mantap.
“Ouh...
iya Amin,” responku singkat.
Tak hanya itu di kelas aku juga mencoba diskusi dengan
teman lain. Aku mendekati temanku N dia tergolong anak yang pandai dan kebetulan
mengikuti kegiatan ekstra kampus yang sama denganku (HTQ).
“Eh kamu
mau daftar tes ICP ya?” Tanyaku asal menebak.
“Iya,
lha kamu?” Balik bertanya
“Wah
sudah kuduga. Kalau aku enggak sih, soalnya aku khawatir ntar gak bisa bagi
waktu terutama gak bisa fokus Quran,” aku menjawab apa adanya.
“Oualah....
aku yakin bisa kok. Bisa-bisa!” Ujarnya semangat dengan mata berbinar-binar.
“Entahlah,”
jawabku memikul rasa ragu.
Kala itu musim UTS tentu sepanjang hari aku fokusan
belajar baik materi kuliah reguler, ma’had, maupun bahasa arab. Hem beginilah
nasib mahasiswa dan mahasantri MSAA (jempol dah luar biasa padatnya). Malam
hari usai kelas bahasa arab sekitar pukul 9 malam aku beralih kegiatan
mengikuti monitoring ta’lim afkar bersama teman-teman. Kebetulan yang menilai
adalah musyrifah D. Syukurlah dengan sosoknya yang terkenal lugu, baik, pendiam
membuat prosesi monitoring santai tanpa ada rasa tegang menghantui. Ketika
musyrifah D memberi nilai di buku monitoring seperti biasa sebelum majelis
bubar ada beberapa wejangan yang beliau suguhkan.
”Adek-adek, saya
ucapkan selamat ya kalian sudah disini kurang lebih 3 bulan ya. Semoga semakin
kerasan, barokah ilmunya, dan mafaat segalanya,” Ujar beliau diiringi senyum
manis.
”Aamiin,”
“Aamiin”
“Aamiin”
Spontan kami menjawab bersahutan.
”Teh.. Teteh cerita
dong apapun gitu,” sanggah salah seorang diantara kami.
”Louh cerita? Mau
cerita tentang apa Dek?” Jawab beliau dengan lembut.
“Hem apa ya, apapun
deh Teh?” Paparnya lagi.
Kami hanya mendengar atau sekadar mengangguk mengucap
“iya”.
“Atau gini aja kalian mau tanya-tanya
sesuatu iya silahkan wes Dek,” beliau
memberi jalan tengah.
“Oh ya
udah. Teteh dari jurusan apa sih?”
“Saya
jurusan PAI. Apa kalian ada yang PAI juga ta?”
Kami saling bertatapan satu sama lain tanpa ada tanda
respon.
“Emm gak
ada Teh, kebanyakan kami dari anak saintek sih hehehehh. Oh ya Teh, kenapa kok
pas tiap ta’lim afkar pagi Teteh sering banget ninggalin kami. Eh maaf
maksutnya kok kenapa dampingi bentar banget habis itu kami ditinggal deh,” curhatnya
panjang labar.
“Hemm
iya Dek soalnya kelas Teteh pagi terus jadwalnya.”
“Teteh
kuliah di kelas ICP ta?” Tiba-tiba saja pertanyaan ini melesat difikiranku.
“Iya
Dek.”
“Wih
keren!” Seru salah seorang diantara kami diikuti suasana riuh bisik-bisik
beberapa orang.
“Berarti
kalau pelajaran dan tugasnya pakek bahasa asing semua gitu?” Tanya temanku lagi dengan raut muka penasaran.
“Iya Dek
tentu, mangkannya kalau di kelas Teteh catat semua yang dosen bilang, terus pas
pulang teteh pelajari lagi.”
“Lha
emang apa Teh bedanya ICP sama jurusan bahasa inggris?” Pertanyaannya masih
mengalir.
“Kalau
jurusan bahasa inggris mereka kan diajari bahasa inggris dari 0 mulai dari
tenses dsb. Beda kalau ICP ya melajari sendiri Dek.”
Mendengarkan kesaksian musrifah pada klimaksnya memancing
satu pertanyaan besar dari jiwaku, “Maaf Teh apa anak ICP ada yang ikut HTQ?”
“Emm... ada
kok Dek beberapa.”
Di
dalam kamar gejolak hatiku mulai menjadi-jadi. Ada keraguan dan keyakinan yang
bertarung hebat menyergap egoku. Aku tidak habis pikir sosok yang di mataku
begitu luar biasa sekelas musrifah saja ada yang masuk kelas ICP begitu juga
dari anggota HTQ. Lagian kalau orang lain bisa mengapa aku tidak? Gawat
bagaimana ini, besok juga hari terakhir daftar tes ICP. Teman-teman
kamarku turut memotivasi untuk ikut tes daftar ICP entah diterima atau tidak
yang penting mencoba. Karena aku pribadi begitu idealis kalau memang
niat ngebet ICP ya daftar
aja (biar ngerjakannya serius alias totalitas) umpama memang gak niat ikut buat
apa daftar (buang-buang waktu aja deh plus kasian juga
peluang teman-teman yang lain). Tidak!
kebingunganku masih belum mereda. Waktu itu jam
mulai menunjukkan pukul 11 malam. Untuk pertama kalinya aku beranikan diri menghubungi
senior HTQ yang sudah hafid 30 juz meski sebatas lewat Whatshapp. Aku
berkonsultasi panjang lebar mengenai problemku. Beruntung
beberapa menit berlalu balasan cepat datang.
Tanpa berfikir panjang aku buka pesan Whatshapp.
”Wa’alaikumsalam
Wr. Wb
Kalau
menurut saya gak ada masalah kalau
memang mau
gabung di kelas ICP selagi pean benar-benar punya tekad dan
kemauan yang kuat untuk menghafal, jangan takut
melangkah jadi
lebih baik dengan
alasan Qur'an justru karena
sedang menghafal
qur'an harusnya lebih maju lagi. Tapi
kalau memang khawatir
sekali gak bisa
jaga hafalan ya gak usah saja.”
Sebait pesan benar-benar menggertak batinku. Ya Allah betapa
bodohnya hamba yang salah
menempatkan prioritas seolah lupa bahwa segala ilmu adalah ilmumu.
Begitupun dengan kelas ICP yang menekankan bidang bahasa toh semua ilmu bertujuan untuk kebaikan.
Hati
manusia amat rapuh mudah berbolak-balik. Bismillah dengan tekad bulat aku pun
mendaftar. Tak lupa setiap usai shalat aku selipkan untaian
doa.
“Ya Allah hamba
mengikuti tes ICP lillahita a’la karenamu. Bila ICP baik untuk hamba maka
dekatkanlah (lolos) apabila tidak maka jauhkanlah.”
Aku
mencoba merenung di dalam kehidupan banyak hal-hal yang seringkali
tidak kita duga hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.
Al-Baqoroh 216:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.”
Aku kembali teringat masa SMA. Sebelumnya passionku cukup besar pada bidang bahasa
inggris. Mulai pagi mengintip hingga malam terlelap hari-hariku senantiasa
diwarnai bahasa inggris. Entah lewat mendengarkan lagu bahasa inggris, audio
pembelajaran, film, buku dsb. Bahkan mimpi besarku kala itu kuliah jurusan
bahasa dan sastra inggris (meski aku sadar
aku masih belum mumpuni betul). Seiring waktu banyaknya masukan saran
dari orang tua, sahabat, dan guruku yang menyarankan mengambil kuliah prodi
pendidikan agama islam. Sedikit cerita sebenarnya Ayahku berprofesi sebagai
guru. Tapi kuliah prodi pendidikan? Jadi guru? Wah ragaku bak digerogoti
ulat-ulat bimbang. Alasan mereka katanya aku orangnya sabar, alim, penyayang
(halah padahal ya gak juga). Akhirnya melalui rangkaian diskusi serta
konsultasi yang matang aku berpindah haluan.
Hal yang aku kagumi dari sosok guru yaitu visinya yang luar biasa untuk
mencetak generasi emas. Selain itu aku turut berupaya mengenal lebih diriku.
Aku merasakan suatu kepuasan yang tak ternilai
ketika dapat membagikan ilmu pada mereka yang awam terlebih apabila ilmu
itu memiliki mafaat di dunia dan akherat. Alhasil mulai detik itu aku jatuh
cinta dengan figur mulia guru yang bernuansa islam, dan mendambakan kuliah di
UIN Maulana Malik Ibrahim.
*
Alhamdulillah
dengan kehendak Allah aku diperkenankan lolos ICP PGMI
English. Tak terasa minggu depan kuliah di kelas ICP telah dimulai.
Sejujurnya aku merasa tidak sabar menikmati kelas baru, teman baru, pelajaran
baru, kelas baru ya semua serba baru
lah. Ah...Allah memang baik sekali suatu alur nan cantik yang diukir
dalam perjalanan hidupku. Aku kejar kembali passionku
yang sempat terabaikan. Kelas ICP PGMI English ibarat penyatu segmen-segmen
hidupku. Kuliah dengan basis pendidikan guru madrasah ibtidaiyah (PGMI) serta berbahasa
inggris aku bisa dapatkan sekaligus. Beruntungnya lagi dengan jumlah UKT yang
tetap beragam keunggulan bisa aku dapatkan dibanding kelas reguler baik dari segi
materi pembelajaran, fasilitas kelas, lingkungan, serta prospek masa depan. Hal
yang terpenting aku bersyukur sekali diberi kesempatan berharga ini. Melatihku
dalam membagi waktu serta beradaptasi dengan teman-teman yang hebat. Aku sadar
aku bukan apa-apa dibanding mereka. Ya semoga aku mampu tertular energi
postitif semangat belajar mereka.
Kelas ICP sekilas nampak waw memang (lebai sih tapi
faktanya begitu). Namun tak semudah ucapan disini butuh perjuangan ekstra. Merupakan
tantangan baru bagiku agar lebih terpacu dalam belajar. Malahan sebelum kuliah
masuk, banyak dari teman-teman yang telah mempersiapkan. Diantara mereka selama
liburan semester 1 ada yang mengikuti les bahasa asing contohnya ke kediri
tepatnya kampung inggris. Aku serasa menciut dan hanya bisa mengelus dada memandangi
status atau chat teman-teman di sosial media yang dengan fasih berbahasa asing
(Masya Allah banget pokoknya). Iya memang hidup gak ada yang instan, semua
butuh proses dan istiqomah. Tak mau ketinggalan saat liburan aku manfaatkan
belajar bahasa inggris juga. Ya Allah aku senantiasa berharap agar engkau ikut
campur segala urusanku. Semoga engkau mudahkan kami anggota ICP PGMI E 2016 mewujudkan
mimpi kami membanggakan orang tua dan kontribusi untuk masyarakat. Kami tahu
tiada lain arti hidup ini kembali kepadamu. (LFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar