Bukan waktu menggenggam perasaan ketika nyali nyaris tak
berdaya. Surya terlanjur melumpuhkan jati diri dijaring kepayahan. Seminggu
sejak ia pindah dari kota pahlawan. Dimas hanyut dalam dinamika waktu. Berkawan
buku diary warna hijau semangka yang telah lama setia menjadi sahabat sejati
percuma tak mampu membela lebih. Mengisahkan luka memuntahkan duri salah paham.
Hand Phone disakunya tak lagi diotak-atik, ketidak pedulian terus membutakan
kesadaran. Mata hatinya terus mengunyah
luapan penyesalan.
--------------
Rumah nomor A7 bercorak sederhana kokoh berdiri dengan
batu bata dan ukiran joglo khas jawa, telah berpindah kepemilikan ketangan penghuni
baru. Keadaan kental dibalut huru hara. Nomor Dimas aktif tapi tidak diangkat
juga. Ibu menata meja makan dengan muka kusut, sementara Ayah meneguk kopi
dengan tenang dan wibawa. Hand Phone masih belum menandakan ada balasan sms
atau telepon terhubung. Sial, tak ada harapan sinyal super lemah.
“Jangan khawatir Bu, Dimas pasti sedang
duduk manis di bukit. Ayah kan tadi sudah bilang habis shalat subuh di masjid dia ijin merekam
pemandangan matahari terbit,” Kepercayaan Ayah terang menyala mencoba menyinari
Ibu di penghujung gelisah.
“Sudah jam 6 lagian Yah. Matahari sudah
makin meninggi. Aku takut ada sesuatu menimpanya. Jangan sampai ia terlambat
sekolah nanti sebelum jam 7,” seru Ibu seraya
memasangkan dasi Ayah.
“Hemm tunggu saja, beberapa menit lagi
mungkin ia akan muncul. Dimas kan laki-laki biarlah dia belajar mandiri,” Ayah menimpali.
“Tapi Dimas masih tergolong kecil
umurnya saja baru 11 tahun. Lagian kenapa Ayah tidak menemaninya tadi? Pokoknya
Ayah harus tanggung jawab bila terjadi apa-apa,” Nada Ibu perlahan meninggi
dibungkus pedas ancaman.
“Iya, tapi Ibu juga jangan terlalu
memanjakan Dimas seperti selama ini, tidak baik untuk masa depannya,” Ayah
mengalihkan topik pembahasan seraya berpaling duduk dekat rak sepatu.
Suara semak bersautan dengan hentakan kaki. Ibu menyambut
Dimas dengan wajah gemerlap. Miris, kondisi membalik segalanya. Petir menampar
keras batin Ibu melihat sang buah hati dengan muka lebam.
Benang-benang kasus yang berceceran tak mudah dipintal
begitu saja. Insiden yang memilukan segera dilontarakan Ibu ke hadapan kepala sekolah.
Namun, tak seorangpun dikelasnya yang berani mengaku. Hari hari berlalu Kelas V
Ringin rejo seolah dalam medan tempur. Setiap pagi dan menjelang pulang
ketegangan di ruang kelas V menyelimuti. Bu Miska mencoba membongkar kejadian,
memancing muridnya yang telah melakukan kekerasan pada Dimas agar segera minta
maaf.
Untung musibah yang menimpa Dimas hanya luka ringan. Luka
memar diwajahnya berselang 1 minggu telah sembuh, namun mendadak ia mogok tak
mau sekolah. Rasa trauma benar-benar mengunci keceriaan dan kebahagiannya. Perubahan
benar-benar menguliti kepribadinnya 180 derajat. Setiap hari dengan ketulusan,
ibunya senantiasa menemani berharap Dimas kembali sebagaimana dulu. Tekanan jiwa
rasa cemas yang meradang membuat Dimas hanya bisa menangis bila didesak ibu dan
Ayahnya untuk menceritakan kronologi insiden serta siapa sang pelaku.
“Yah gimana nasib anak kita?” Tanya Ibu mengerutkan
dahi.
“Iya, Dimas mungkin masih butuh waktu untuk menenangkan diri,” Ayah santai menjawab seraya menatap huruf-huruf dalam koran genggamannya...............................................................
“Apa semudah itu? Sudahlah Yah, kita penuhi aja keinginannya pindah sekolah ke desa sebelah di Golden Sky School,” ujar Ibu.
“Iya, Dimas mungkin masih butuh waktu untuk menenangkan diri,” Ayah santai menjawab seraya menatap huruf-huruf dalam koran genggamannya...............................................................
“Apa semudah itu? Sudahlah Yah, kita penuhi aja keinginannya pindah sekolah ke desa sebelah di Golden Sky School,” ujar Ibu.
“Jangan gegabah Bu, apa Ibu yakin
menyekolahkan anak kita kesana?” Ayah balik bertanya sontak meletakan koran di
atas meja
“Ya
tentu Ibu yakin, namanya juga demi kebaikan anak,” jawab Ibu mantap.
“Hem..
Apa Ibu lupa perjuangan para pahlawan negeri kita Bu? Lebih baik anak kita menuntut
ilmu dinaungan sekolah pribumi dari pada sekolah internasional dengan guru dan
materi asing seperti Golden Sky School,” Ayah menerangkan.
Sore melambai datang parade kawanan bebek. Suaranya yang
khas mengundang penasaran siapa saja untuk melihat. Tak malu mereka melewati
perkampungan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sembari mencari makan
yang bersembunyi dalam butir tanah. Bila beruntung mereka mendapat cacing segar
bila tidak batu, biji atau benda keras lain menjadi korban. Entah tak dapat dipastikan
milik siapa bebek-bebek itu. Fikiran Dimas menggantung, ia sadar bertapa
hidupnya tak jauh beda dengan bebek. Ya, hanya bisa ikut-ikutan. Tanpa tau
pasti arah tujuan karakteristik lingkungan serta siapa saja yang akan ia
hadapi. Buku diary kembali menjadi alarm pengingatnya kejadian silam. Tak habis
fikir betapa temannya amat sensitif,
satu buah perkataan melayang berubah menjadi racun berbisa. Apa aku berlebihan?
Bukanakah itu hal biasa di Surabaya? Dimas menapaki getir puing penyesalan,
besar harapannya ingin membeli mesin waktu Doraemon. “Ehemm,” tiba-tiba terdengar
suara laki-laki berdehem. Lamunan Dimas di jendela semburat tak berupa. Ayah yang
duduk disamping Dimas mencoba mencairkan suasana mengajaknya rafting esok pagi. Sebagaimna sebelumnya
Ayah tahu betul kegiatan favorit anak semata wayangnya dalam bidang olah raga,
tanpa persetujuan dari Dimas secara sepihak memintanya segera mempersiapkan
diri.
Cuaca cerah menyapa hangat penduduk Desa Bayem, Kecamatan
Kasembon, Kabupaten Malang. Akhirnya, hal yang ditunggu segera tiba. Arung
jeram wisata unggulan desa dengan sensasi yang sepadan antusias dihadapi
keluarga Dimas. Medan bervariasi cocok bagi pemula maupun yang profesional melatih
fisik dan mental. Memicu hormon adrenalin meredam rasa stres ditambah hiasan
panorama yang menjernihkan hati dam fikiran dikelilingi perbukitan dengan
hamparan lautan sawah membentang kekuningan seolah telah siap dipanen. Maha
besar Allah menciptakan bumi nusantara yang kaya sumber daya alam.
Tok..tok..tok dari ketukan dahan pintu kenyataan mulai
mengungkap indah pelangi. Bu Miska wali
kelas V SDN Ringin rejo kaca matanya memantulkan gejolak misteri. Perbincangan
4 mata dengan Dimas mengurai kabar sejuk. Bu Miska menumpahkan banyak hal
termasuk kerinduan sekolah. Hand Phone beliau menjadi bukti bisu berupa video persembahan teman-teman kelas V
sebongkah ungkapan rindu sekaligus permohonan maaf atas kesalahan pahaman yang
terjadi.
Pagi berkilau menyongsong hari Senin, seragam putih merah
membekukan semangat dari raga Dimas yang kembali bersekolah. Tertimpa duren
itulah gambaran kebahagiaan yang dirasa Ibu dan Ayah. Keceriaan tumbuh bersemi,
lama tak jumpa kini teman-temannya kembail hangat merangkul. Usai upacara bendera,
Bu Miska seorang guru muda nan energik mengajak murid-muridnya keluar sekolah.
Mereka berjalan beriringan mendaki menuruni bukit menyusuri jalan menyaksikan indah
panorama merelaksasi setiap ketegangan batin dan urat nadi. Kesejukan ramah
menyertai para petani yang nampak akrab saling membahu di petak-petak sawah. Syahdu
kelembutan aliran sungai menyatu dengan nyanyi burung di angkasa. Entah Dimas
merasakan ketenangan tiada tara tidak seperti rumahnya dulu yang setiap detik
dipenuhi bising kendaraan lalu lalang.
Candi Sapto menjadi tujuan rombongan murid kelas V. Candi
yang tak sering diliput dalam buku-buku atau televisi. Tapi fakta menunjukkan desa
ini menyimpan peninggalan sejarah meskipun terbatasnya prasasti yang menunjang.
Sebagai pengantar Ibu guru menerangkan materi bab baru yaitu kerajaan Indonesia.
Sekilas mencuplik poin hikmah, banyak inspirasi dan teladan dapat digali. Dibalik
kontribusi sejarah Indonesia tak salah negara ini memang kaya baik dari sumber
daya alam, suku, etnis, dan budaya. Sudah sepatutnya, tugas kita tonggak
penerus bangsa untuk melestarikan dan menghargai aneka ragam budaya yang ada.
Waktu terus menggelinding dibalik jilbab yang menutup
kepala Bu Guru seolah menyembunyikan seyum bahagia. Sorak sorai dalam permainan
tradisional anak-anak menularkan kenangan Bu Miska. Pengalaman 20 tahun lalu semakin
dekat menghampiri alam bawah sadar Bu Miska. Tiba-tiba melintas bisikan dalam
sanubari Bu Guru, bangsa yang luhur ialah yang mampu menjunjung kebudayaannya.
(LFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar