Sabtu, 18 Februari 2017

PENJAHIT SEPATU






Aku masih duduk bak sebuah batu, terdiam sibuk menyumpel dua lubang hidung dengan sapu tangan yang kebetulan bertengger di saku. Iya, tak beda jauh layaknya pengunjung rumah sakit yang menutup lubang hidung alasan antisipasi ketularan virus. Bahkan tiga puluh menit sejak aku menjadi lumut di tempat menjijikan ini. Ditengah galau yang menghantui, aku yakin semua orang pasti merasa ingin mengakhiri. Cukup untuk pertama dan terakhir aku disini keluh rengek batin. Memang sial nasib, mendatangi tempat penjahitan sepatu dan payung ditawan titah Bos. Hanya saja kondisi disekeliling benar-benar membuat ingin berontak. Hujan deras bagi air terjun yang mengerang dibalik kondisi yang semakin buruk rupa menodai mata, pemandangan sungai kotor tak ramah, bau sampah yang menari-nari dibawa arus air. Betapa tidak lingkungan ini mencekik tengggorkanku membuatku ingin muntah. Tak kuat ingin rasa segera mengakhiri, berlari menghirup segarnya udara di luar. Namun karena kewajiban menggantung, suka dan duka terpaksa aku terjang.  Sesekali menengok jam tangan pinjaman berharap setiap detik jarum melaju lebih cepat.
            "Dek, kira-kira masih berapa menit  lagi sepatunya selesai dijahit?" Tanyaku  pada seorang anak kecil penjahit sepatu.
            "Emmm... mungkin 1  jam lagi baru selesai Mbak,"  tukasnya dengan ekspresi hampa tangannya tetap asyik menusukkan jarum di sepatu pesanan orang.
            “Lho katanya tadi 30 menit sudah jadi. Aku sudah nunggu 30 menit, berarti sudah jadi dong,” tanyaku dengan nada meninggi tidak percaya.
            “Iya, sebenarnya biasanya segitu. Tapi Mbak tau sendiri sekarang cuacanya telah berubah. Coba lihat ke atas, matahari tidak bersahabat, ” seru penjahit menggampangkan.
Aku menatap ke langit mengernyit dahi, menatap awan gelap kelabu hujan gerimis bergelimpang dari langit aku rasakan menghujam harapanku.
“Sabar Mbak, sepatu yang Mbak bawa masih di lem. Kalau sudah kering baru bisa dijahit,” ujarnya  kembali menerangkan.
            "Haduh kok gak bilang dari tadi sih! Aku udah gak betah disini. Apa gak bisa lebih cepat?" Aku mengadu sembari bangkit dari posisi dudukku.
......
            “Ya Tuhan, masalahnya itu sepatu majikanku. Kalau sepatunya udah selesai dijahit baru aku diijinkan pulang.  Kalau tahu gini udah dari tadi mending keluar, main entah ke taman, pasar, atau tempat asyik lainnya  pas cuaca masih cerah. Sudah sekarang hujan makin deras, pokoknya 1 jam lagi harus udah selesai lho Dek!” Aku terus  mengomel di rel emosi yang asapanya terus berkibar-kibar.

Ucapanku sama sekali tidak digubris. Apa anak ini gak pernah  di ajari tata krama oleh orang tuanya? Udah bikin sakit hati sekarang diam tak merespon. Aku merasa mengobrol  dengan makhluk lain. Huh.. tingkahnya nyebelin banget aku terus menggerutu. Terpaksa aku kembali duduk menyerah kalah, terjebak hujan deras berdamping rangkain kilat halilintar. Ouh rasanya raga ini menyusut tak berdaya.

Sebersit anugrah terhempas hujan tampak memahami, semakin jinak menjadi iringan gerimis  hingga mereda. Krucuk...krucuk... astaga  kini perutku yang berbunyi meniru aliran air.
            “Mbak gak lapar?  Silahkan ini ada kue kukus,” sembari menyodorkan kotak kecil berwarna hijau tosca.
 Aku tersentak, dalam fikirku penuh ragu. Apa ia bisa membaca fikiranku?
            “Mbak gak usah malu, silahkan ambil,” terus saja ia merayu tak menyerah.
            “Emm, makasih,” tanganku melambai, sebab gengsi aku memilih menolak aku yakin ia pura-pura baik.

****

             “Ini mbak sepatunya sudah selesai.”
            “Oh iya berapa Dek? Untung ya tepat waktu,” ujarku bonus menyindir senyum tipis.
             “Cukup 5.000 aja mbak,” jawabnya santai tak peduli seraya mengusap peluh di dahi.

Wusshh... aku beranjak pulang dengan nafas lega. Tik..tik... beberapa langkah aku berjalan tetesan air merayap membasahi pipi. Aku percepat langkah berharap air dari angkasa tidak berlarut  ganas. Persis saat ada suara langkah kaki berlari dan tabir membatasiku dengan hujan.
            “Mbak,” suara mengalir lewati gendang telingaku.
Aku menoleh kebelakang.  Mataku tak menjangkau siapapun kecuali payung yang melayang. Aku terbelalak dikala menatap ke bawah, sigap bediri seorang berambut ikal setinggi pinggangku.
            “Mbak, hujannya semakin deras, pakai payung ini saja ya,” ia berseru kencang mengalahkan sorak sorai hujan.
            “Oh iya, terima kasih. Tapi untuk apa? Sepatu bos saya sudah di dalam tas plastik, jadi gak akan basah karena hujan kok.”
            “Iya gak apa-apa. Dari pada Mbaknya nanti sampai rumah basah kuyup. Rumah saya dekat sini kok mbak. ”
            “Ouh baiklah kalau begitu, terimakasih Dek. Besok saya kembalikan lagi ya,” mulutku dibungkam kelu, akhirnya menerima dengan hati haru.

Aku berpaling kembali mengembalikan payung. Namun tak aku jumpai rambut ikal anak penjahit sepatu dan payung. Hatiku panas dirundung resah. Aku mendatangi pria bertopi hitam sibuk mengelap gerobaknya bertulis “Jenang Sehat”.
            “Pak, anak kecil yang menjahitkan sepatu dan payung disini kemana ya?”
            “Ouh si Ahmad, dia tadi pulang buru-buru. Katanya sih mau nunggguin ibunya yang opname di rumah sakit.”
            “Apa di rumah sakit? Rumah sakit mana ya Pak? Maaf saya mau mengembalikan payungnya.”
            “Di Rumah Sakit Graha Saudara dekat alun-alun itu lho Mbak, kasian banget kata Ahmad ibunya sedang kritis,” ujar beliau terbuka.
            “Ouh, memang Ibunya sakit apa Pak?” Tanyaku penasaran.
            “Kata Ahmad Ibunya kena kanker paru-paru, sebenarnya dokter udah nganjurin operasi. Tapi yah karena uang sulit dicari,  anaknya bingung cari dana.”
            “Emmmm... Terima kasih atas infonya Pak,” aku bergegas pergi dengan batin  mengganjal merajut mata berbuih embun.

Rumah mewah telah menantiku tanpa fikir panjang segera kudatangi markas. Aku mengiris aneka bumbu dengan hati pilu. Terbayang almarhum Kak Mirda, saudara kembarku yang terindikasi kanker paru-paru lantaran over dosis terkontaminasi asap rokok di kantor. Nasibku tak ubahnya tercermin kepada Ahmad. Aku berikrar sore nanti hendak menjenguk Ibunya.
            “Tumben Mir, jam segini dapur udah ribet. Mau kemana hayo?  Biasanya kan  jam segini masih molor,” Kata Nyonya Bos nyelonong masuk.
            “Emmm iya Nya, kebetulan nanti saya mau ke rumah sakit jenguk ibu temen saya,” jawabku menunduk fokus mencacah daging.
            “Matamu agak lebam, kamu menangis? Emang Ibunya sakit apa?” Tanyanya sambil asyik menyicipi kentang goreng yang baru matang.
            “Emmm... iya, sakit kanker paru-paru Nya, katanya disarankan dokter untuk operasi. Cuma kasian banget, teman saya tidak punya cukup uang,” ujarku masih terisak.
            “Operasi itu emang mahal bisa berjuta juta. Yah mangkannya kita harus menerapkan  pola hidup sehat. Makan-makanan yang sehat serta bergizi. Bukan begitu kan Mirah?” Ungkap Nyonya seraya mengambil apel merah fuji yang tergelatak di piring.
            “Iya, betul sekali. Oh ya Nya, berubung tabungan saya hanya Rp 100.000,00. Apa Nyonya tak ingin ikut  membantu?” Ujarku berharap Nyonya moodnya sedang baik dan  tergerak hatinya berbagi meski secuil harta.
            “Hah... uhuk...uhuk,” spontan Nyonya tersedak apel, capat-cepat aku ambilkan segelas air putih.
            “Em...gimana ya? Uang saya yang cash tidak ada. Uang di ATM ada sih tapi saya gunakan besok reuni ke luar kota. Andai kamu bilang jauh hari Mir, masih bisa aku bantu,” ujar Nyonya sok care.
            “Emmm... baiklah. Maaf Nya, kalau Bos pulang kerja kira-kira kapan?” Tanyaku menggali jalan lain.
            “Tadi berangkat kerja sih katanya  pulang  baru besok. Nanti mau rapat mbahas proyek besar. Yah semoga aja lancar ya nanti,” hobi pamer Nyonya mulai kambuh.
            “ Iya Nya, Amin...Amin,” Aku iyakan aja deh biar puas tak guna aku  mencerca.

***
Dibalik saksi gelincir mentari. Sekali lagi aku meyakinkan amplop aman di saku. Aku maju menghampiri gerbang rumah sakit mataku mengintai setiap langkah yang lalu lalang. Wajahku semakin mekar tampak Ahmad dari pintu. Aku segera berlari menghampiri.
            “Dek,apa kabar?  Ini aku kembaikan payungnya,” ujarku  menghampiri seraya jongkok di lantai menyamakan tinggi badan kami  menjulurkan payungnya.
            “Ouh iya baik Mbak,  terima kasih,” tampangnya masih seperti dulu awal bertemu masam, datar, dan kaku.
            “Lho mau kemana? Aku mau jenguk Ibunya Adik,” aku menghentikan langkah kakinya yang terburu-buru pergi.
            “Mbaknya memang ada perlu apa dengan Ibu saya?” Langkahnya terhenti, malah  balik bertanya.
            “Ya, aku kan pingin jenguk. Masak gak boleh?” Ujarku membela diri.
            “Ya boleh aja sih, tapi ibuku masih tidur,” jawabnya dekil.
            “Emm, ya udah gak apa-apa kalau gitu tolong terima ini ya Dek,” seruku memberikan amplop putih agak lusuh.
***

Inilah momen yang aku tunggu. Untung saja bujuk rayuku mempan membungkus niat Nyonya membeli payung baru. Bermodal payung rusak yang tak lagi selaras antara juantaian benang dan sisi kawat. Dengan riang semangat aku kembali menghampiri stand jasa penjahitan sepatu dan payung. Surya pagi seperti biasa masih kokoh mengawasi aktivitas kami, tapi tak aku jumpai bocah penjahit sepatu dan payung. Setelah aku mendapat kabar dari  penjual jenang. Tiap bait katanya perih tembus mematahkan mimpiku. Betapa sesak dadaku mendengar Ahmad telah lama tidak bekerja. Tutur penjual jenang terakhir kali dijumpainya pekan lalu dikala sore menjelma di panti asuhan. Aku kian mengungkit bingkai nostalgia 5 tahun silam, mengorek kembali tiimbunan pedih kehilangan orang yang  disayang .

Energi besar menopang langkahku. Entah apa motif yang mengukir ingin sekali aku berjumpa Ahmad walau semenit saja. Berjarak beberapa langkah dekat panti jelas terdengar kegaduhan anak-anak. Sesampainya aku menatap girang  gerumbulan anak kecil bermain riang bersama di halaman. Namun hatiku menciut berulang kali mencermati sama sekali tak menjumpai anak kecil berambut ikal. 
            “Mbak,” tiba-tiba  aku merasakan dekapan seseorang  dari belakang.
            “Yey... Asyik Mbak main kesini,” ia melepaskan pelukannya dan berjalan gesit di hadapanku dengan senyum mengambang bahkan terlihat jajaran giginya.
            “Ouh iya sama-sama Dek, aku turut berbela sungkawa atas yang ada. Moga Allah memberi kekuatan dan ganjaran yang melimpah ya,” ujarku sembari menatapnya haru.
            “Hah, Mbak ngomong apa sih? Aku gak ngerti. Mbak mau ketemu Ibu ya? Ibu baru saja pergi mengantar roti pesanan orang,” serunya dengan wajah keheranan.
          “Hah yang bener? Ouh enggak, aku cuma pingin ketemu Adik buat jahitin payung,” jawabku amat terkejut segera mengalihkan pembicaraan.
            “Gak mau ah mbak, kata Ibu aku harus fokus sekolah gak boleh kerja. Ouh ya Mbak terimakasih banyak ya, karena bantuan uang dari mbak kemarin, Ibu saya sekarang sudah sembuh usai operasi,” ujarnya menjelaskan membuatku sedikit tercengang atas perubahannya mendadak 180 derajat.
            “Emm... Alhamdulillah kalau gitu. Sebenernya itu bukan dari mbak aja Dek. Ya seperti adiknya tau aku sebagai pembantu dengan teman-teman, eh maksutnya dengan para pembantu lain. Mereka juga turut simpati akhirnya kami mengumpulkan uang bersama,” aku berterus terang.
            “Ouh gitu aku gak nyangka masih ada orang yang peduli dengan kami,” perkataan Ahmad merambat menggetarkan kalbuku.
            “Iya, aku sadar Dek. Almarhum saudaraku perempuanku memberiku mutiara kenangan bahwa kebahagiaan datang dengan menjalin persaudaraan. Saling berbagi dan membantu satu sama lain. Persaudaraan dengan siapa saja, tak sebatas sanak keluarga atau sedarah turunan.”
            “Iya betul banget. Oh ya Mbak, sebagai ungkapan terima kasih tolong terima kue ceria ini” ujarnya sembari mengeluarkan sebungkus kue kukus kebiasaan baiknya masih saja awet seperti dulu.
            “Nyam.... nyam iya enak banget. Pasti Ibumu ya yang buat? Eh ngomong-ngomong lagi ngapain Dek disini?” Tanyaku menikmati roti kukus keju  yang masih hangat.
            “Hehehe Mbak tau aja. Yah.. seperti biasa setiap jumat sore Ibu memintaku membagi kue-kue ini ke panti,” jawabnya dengan polos.
            “Wuw asyik  berbagi,  jempol deh buat Ahmad?” ujarku takjub.
            “Lho Mbak tau namaku? Dari siapa?” tanyanya baru menyadari.
            “Ya tau dong, emmm rahasia,” responku senyum kecut.
            “.........”
           
 (LFA)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate by Google ( UBLO 7 )

Blogroll

About

Flag Counter