Aku masih duduk bak sebuah
batu, terdiam
sibuk menyumpel dua lubang hidung dengan sapu tangan yang kebetulan bertengger di saku. Iya, tak
beda jauh layaknya pengunjung rumah sakit yang menutup lubang hidung alasan
antisipasi ketularan virus. Bahkan
tiga puluh menit
sejak aku menjadi lumut di tempat menjijikan ini. Ditengah
galau yang menghantui, aku yakin semua orang pasti merasa ingin mengakhiri.
Cukup untuk pertama dan terakhir aku disini keluh rengek batin. Memang sial
nasib, mendatangi tempat penjahitan sepatu dan payung ditawan titah Bos.
Hanya saja kondisi disekeliling benar-benar membuat ingin berontak. Hujan deras
bagi air terjun yang mengerang dibalik kondisi yang semakin buruk rupa menodai
mata, pemandangan sungai kotor tak ramah, bau sampah yang menari-nari dibawa
arus air. Betapa tidak lingkungan ini mencekik tengggorkanku membuatku ingin
muntah. Tak kuat ingin rasa segera mengakhiri, berlari menghirup segarnya udara
di luar. Namun karena kewajiban menggantung, suka dan duka terpaksa aku
terjang. Sesekali menengok jam tangan pinjaman berharap setiap
detik jarum melaju lebih cepat.
"Dek, kira-kira masih berapa menit lagi sepatunya selesai dijahit?" Tanyaku pada seorang anak kecil penjahit sepatu.
"Emmm... mungkin 1 jam lagi baru selesai Mbak," tukasnya dengan
ekspresi hampa tangannya
tetap asyik
menusukkan jarum di sepatu pesanan orang.
“Lho
katanya tadi 30 menit sudah jadi. Aku sudah nunggu 30 menit, berarti sudah jadi
dong,” tanyaku dengan nada meninggi tidak percaya.
“Iya,
sebenarnya biasanya segitu. Tapi Mbak tau sendiri sekarang cuacanya telah
berubah. Coba lihat ke atas, matahari tidak bersahabat, ” seru penjahit
menggampangkan.
Aku menatap ke langit mengernyit dahi, menatap awan gelap
kelabu hujan gerimis bergelimpang dari langit aku rasakan menghujam harapanku.
“Sabar Mbak, sepatu yang Mbak bawa masih di lem. Kalau
sudah kering baru bisa dijahit,” ujarnya
kembali menerangkan.
"Haduh kok gak
bilang dari tadi sih!
Aku
udah gak betah disini.
Apa gak bisa lebih cepat?" Aku mengadu
sembari bangkit dari posisi dudukku.
......
“Ya
Tuhan, masalahnya itu sepatu majikanku. Kalau sepatunya udah selesai dijahit
baru aku diijinkan pulang. Kalau tahu
gini udah dari tadi mending keluar, main entah ke taman, pasar, atau tempat
asyik lainnya pas cuaca masih cerah.
Sudah sekarang hujan makin deras, pokoknya 1 jam lagi harus udah selesai lho
Dek!” Aku terus mengomel di rel emosi
yang asapanya terus berkibar-kibar.
Ucapanku
sama sekali tidak digubris. Apa anak ini gak pernah di
ajari tata krama oleh orang tuanya? Udah bikin sakit hati sekarang diam tak
merespon. Aku merasa mengobrol dengan
makhluk lain. Huh.. tingkahnya nyebelin banget aku terus menggerutu. Terpaksa
aku kembali duduk menyerah kalah, terjebak hujan deras berdamping rangkain
kilat halilintar. Ouh rasanya raga ini menyusut tak berdaya.
Sebersit
anugrah terhempas hujan tampak memahami, semakin jinak menjadi iringan
gerimis hingga mereda.
Krucuk...krucuk... astaga kini perutku
yang berbunyi meniru aliran air.
“Mbak
gak lapar? Silahkan ini ada kue kukus,”
sembari menyodorkan kotak kecil berwarna hijau tosca.
Aku tersentak, dalam fikirku penuh ragu. Apa
ia bisa membaca fikiranku?
“Mbak
gak usah malu, silahkan ambil,” terus saja ia merayu tak menyerah.
“Emm,
makasih,” tanganku melambai, sebab gengsi aku memilih menolak aku
yakin ia pura-pura baik.
****
“Ini mbak sepatunya sudah selesai.”
“Oh
iya berapa Dek? Untung ya tepat waktu,” ujarku bonus menyindir senyum tipis.
“Cukup 5.000 aja mbak,” jawabnya
santai tak peduli seraya mengusap peluh di dahi.
Wusshh...
aku beranjak pulang dengan nafas lega. Tik..tik... beberapa langkah aku
berjalan tetesan air merayap membasahi pipi. Aku percepat langkah berharap air
dari angkasa tidak berlarut ganas.
Persis saat ada suara langkah kaki berlari dan tabir membatasiku dengan hujan.
“Mbak,”
suara mengalir lewati gendang telingaku.
Aku menoleh
kebelakang. Mataku tak menjangkau
siapapun kecuali payung yang melayang. Aku terbelalak dikala menatap ke bawah,
sigap bediri seorang berambut ikal setinggi pinggangku.
“Mbak,
hujannya semakin deras, pakai payung ini saja ya,” ia berseru kencang
mengalahkan sorak sorai hujan.
“Oh
iya, terima kasih. Tapi untuk apa? Sepatu bos saya sudah di dalam tas plastik,
jadi gak akan basah karena hujan kok.”
“Iya
gak apa-apa. Dari pada Mbaknya nanti sampai rumah basah kuyup. Rumah saya dekat
sini kok mbak. ”
“Ouh
baiklah kalau begitu, terimakasih Dek. Besok saya kembalikan lagi ya,” mulutku
dibungkam kelu, akhirnya menerima dengan hati haru.
Aku berpaling
kembali mengembalikan payung. Namun tak aku jumpai rambut ikal anak penjahit sepatu
dan payung. Hatiku panas dirundung resah. Aku mendatangi pria bertopi hitam
sibuk mengelap gerobaknya bertulis “Jenang Sehat”.
“Pak,
anak kecil yang menjahitkan sepatu dan payung disini kemana ya?”
“Ouh
si Ahmad, dia tadi pulang buru-buru. Katanya sih mau nunggguin ibunya yang
opname di rumah sakit.”
“Apa
di rumah sakit? Rumah sakit mana ya Pak? Maaf saya mau mengembalikan
payungnya.”
“Di
Rumah Sakit Graha Saudara dekat alun-alun itu lho Mbak, kasian banget kata
Ahmad ibunya sedang kritis,” ujar beliau terbuka.
“Ouh,
memang Ibunya sakit apa Pak?” Tanyaku penasaran.
“Kata
Ahmad Ibunya kena kanker paru-paru, sebenarnya dokter udah nganjurin operasi.
Tapi yah karena uang sulit dicari,
anaknya bingung cari dana.”
“Emmmm...
Terima kasih atas infonya Pak,” aku bergegas pergi dengan batin mengganjal merajut mata berbuih embun.
Rumah mewah
telah menantiku tanpa fikir panjang segera
kudatangi markas. Aku
mengiris aneka bumbu dengan hati pilu. Terbayang almarhum Kak Mirda, saudara
kembarku
yang terindikasi kanker paru-paru lantaran over dosis terkontaminasi asap rokok di kantor. Nasibku tak
ubahnya tercermin kepada Ahmad. Aku
berikrar sore nanti hendak menjenguk Ibunya.
“Tumben
Mir, jam segini dapur udah ribet. Mau kemana hayo? Biasanya kan
jam segini masih molor,” Kata Nyonya Bos nyelonong masuk.
“Emmm
iya Nya, kebetulan nanti saya mau ke rumah sakit jenguk ibu temen saya,” jawabku
menunduk fokus mencacah daging.
“Matamu
agak lebam, kamu menangis? Emang Ibunya sakit apa?” Tanyanya sambil asyik
menyicipi kentang goreng yang baru matang.
“Emmm...
iya, sakit kanker paru-paru Nya, katanya disarankan dokter untuk operasi. Cuma
kasian banget, teman saya tidak punya cukup uang,” ujarku masih terisak.
“Operasi
itu emang mahal bisa berjuta juta. Yah mangkannya kita harus menerapkan pola hidup sehat. Makan-makanan yang sehat
serta bergizi. Bukan begitu kan Mirah?” Ungkap Nyonya seraya mengambil apel
merah fuji yang tergelatak di piring.
“Iya,
betul sekali. Oh ya Nya, berubung tabungan saya hanya Rp 100.000,00. Apa Nyonya
tak ingin ikut membantu?” Ujarku berharap
Nyonya moodnya sedang baik dan tergerak hatinya berbagi meski secuil harta.
“Hah...
uhuk...uhuk,” spontan Nyonya tersedak apel, capat-cepat aku ambilkan segelas
air putih.
“Em...gimana
ya? Uang saya yang cash tidak ada. Uang di ATM ada sih tapi saya gunakan besok
reuni ke luar kota. Andai kamu bilang jauh hari Mir, masih bisa aku bantu,”
ujar Nyonya sok care.
“Emmm...
baiklah. Maaf Nya, kalau Bos pulang kerja kira-kira kapan?” Tanyaku menggali
jalan lain.
“Tadi
berangkat kerja sih katanya pulang baru besok. Nanti mau rapat mbahas proyek
besar. Yah semoga aja lancar ya nanti,” hobi pamer Nyonya mulai kambuh.
“
Iya Nya, Amin...Amin,” Aku iyakan aja deh biar puas tak guna aku mencerca.
***
Dibalik
saksi gelincir mentari. Sekali lagi aku meyakinkan amplop aman di saku. Aku
maju menghampiri gerbang rumah sakit mataku mengintai setiap langkah yang lalu
lalang. Wajahku semakin mekar tampak Ahmad dari pintu. Aku segera berlari
menghampiri.
“Dek,apa
kabar? Ini aku kembaikan payungnya,”
ujarku menghampiri seraya jongkok di
lantai menyamakan tinggi badan kami
menjulurkan payungnya.
“Ouh
iya baik Mbak, terima kasih,” tampangnya
masih seperti dulu awal bertemu masam, datar, dan kaku.
“Lho
mau kemana? Aku mau jenguk Ibunya Adik,” aku menghentikan langkah kakinya yang
terburu-buru pergi.
“Mbaknya
memang ada perlu apa dengan Ibu saya?” Langkahnya terhenti, malah balik bertanya.
“Ya,
aku kan pingin jenguk. Masak gak boleh?” Ujarku membela diri.
“Ya
boleh aja sih, tapi ibuku masih tidur,” jawabnya dekil.
“Emm,
ya udah gak apa-apa kalau gitu tolong terima ini ya Dek,” seruku memberikan amplop
putih agak lusuh.
***
Inilah momen
yang aku tunggu. Untung saja bujuk rayuku mempan membungkus niat Nyonya membeli
payung baru. Bermodal payung rusak yang tak lagi selaras antara juantaian
benang dan sisi kawat. Dengan riang semangat aku kembali menghampiri stand jasa penjahitan sepatu dan payung.
Surya pagi seperti biasa masih kokoh mengawasi aktivitas kami, tapi tak aku
jumpai bocah penjahit sepatu dan payung. Setelah aku mendapat kabar dari penjual jenang. Tiap bait katanya perih tembus
mematahkan mimpiku. Betapa sesak dadaku mendengar Ahmad telah lama tidak
bekerja. Tutur penjual jenang terakhir kali dijumpainya pekan lalu dikala sore
menjelma di panti asuhan. Aku kian mengungkit bingkai nostalgia 5 tahun silam, mengorek
kembali tiimbunan pedih kehilangan orang yang
disayang .
Energi besar
menopang langkahku. Entah apa motif yang mengukir ingin sekali aku berjumpa
Ahmad walau semenit saja. Berjarak beberapa langkah dekat panti jelas terdengar
kegaduhan anak-anak. Sesampainya aku menatap girang gerumbulan anak kecil bermain riang bersama
di halaman. Namun hatiku menciut berulang kali mencermati sama sekali tak
menjumpai anak kecil berambut ikal.
“Mbak,”
tiba-tiba aku merasakan dekapan
seseorang dari belakang.
“Yey... Asyik Mbak main kesini,” ia melepaskan pelukannya dan berjalan gesit di hadapanku dengan senyum mengambang bahkan terlihat jajaran giginya.
“Yey... Asyik Mbak main kesini,” ia melepaskan pelukannya dan berjalan gesit di hadapanku dengan senyum mengambang bahkan terlihat jajaran giginya.
“Ouh
iya sama-sama Dek, aku turut berbela sungkawa atas yang ada. Moga Allah memberi
kekuatan dan ganjaran yang melimpah ya,” ujarku sembari menatapnya haru.
“Hah, Mbak ngomong apa sih? Aku gak
ngerti. Mbak mau ketemu Ibu ya? Ibu baru saja pergi mengantar roti pesanan
orang,” serunya dengan wajah keheranan.
“Hah yang bener? Ouh enggak, aku cuma
pingin ketemu Adik buat jahitin payung,” jawabku amat terkejut segera
mengalihkan pembicaraan.
“Gak
mau ah mbak, kata Ibu aku harus fokus sekolah gak boleh kerja. Ouh ya Mbak
terimakasih banyak ya, karena bantuan uang dari mbak kemarin, Ibu saya sekarang
sudah sembuh usai operasi,” ujarnya menjelaskan membuatku sedikit tercengang
atas perubahannya mendadak 180 derajat.
“Emm...
Alhamdulillah kalau gitu. Sebenernya itu bukan dari mbak aja Dek. Ya seperti
adiknya tau aku sebagai pembantu dengan teman-teman, eh maksutnya dengan para
pembantu lain. Mereka juga turut simpati akhirnya kami mengumpulkan uang
bersama,” aku berterus terang.
“Ouh
gitu aku gak nyangka masih ada orang yang peduli dengan kami,” perkataan Ahmad
merambat menggetarkan kalbuku.
“Iya,
aku sadar Dek. Almarhum saudaraku perempuanku memberiku mutiara kenangan bahwa
kebahagiaan datang dengan menjalin persaudaraan. Saling berbagi dan membantu
satu sama lain. Persaudaraan dengan siapa saja, tak sebatas sanak keluarga atau
sedarah turunan.”
“Iya
betul banget. Oh ya Mbak, sebagai ungkapan terima kasih tolong terima kue ceria
ini” ujarnya sembari mengeluarkan sebungkus kue kukus kebiasaan baiknya masih
saja awet seperti dulu.
“Nyam....
nyam iya enak banget. Pasti Ibumu ya yang buat? Eh ngomong-ngomong lagi ngapain
Dek disini?” Tanyaku menikmati roti kukus keju
yang masih hangat.
“Hehehe
Mbak tau aja. Yah.. seperti biasa setiap jumat sore Ibu memintaku membagi
kue-kue ini ke panti,” jawabnya dengan polos.
“Wuw
asyik berbagi, jempol deh buat Ahmad?” ujarku takjub.
“Lho Mbak tau namaku? Dari siapa?” tanyanya baru menyadari.
“Lho Mbak tau namaku? Dari siapa?” tanyanya baru menyadari.
“Ya
tau dong, emmm rahasia,” responku senyum kecut.
“.........”
“.........”
(LFA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar