Sabtu, 20 Jul 2013
Ramadhan Bulan I'dad, Jihad dan Istisyhad
Oleh: Syaikh Abu Sa'ad Al-'Amili
VOA-ISLAM.COM - Adalah merupakan suatu adab dan etika di kalangan Muslim untuk mengisi Bulan Suci Ramadhan mereka dengan ibadah terbaiknya. Tapi di sebagian kalangan Muslim lainnya, Bulan Ramadhan tidak lebih menjadi bulan begadang, bulan berkumpul dan bercanda dengan kawan di saat menjelang berbuka dan bulan pesta makanan di saat malamnya.
Maka dari itu, saya katakan bahwa tulisan saya ini tidak ditujukan kepada orang-orang semacam itu, karena mereka tidak akan membacanya. Bahkan jika mereka mau membacanya, mereka tidak akan mau melaksanakan intisari dari pesan saya ini. Karena sangat bertentangan dengan kebiasaan buruk mereka dalam mengisi bulan Ramadhan. Mereka merusak kesucian Ramadhan dengan perbuatan rendah dan sia-sia mereka, dengan memperturutkan nafsu. Dimana dalam pandangan mereka, Ramadhan tidak lebih dari sebuah adat dan kebiasaan-tradisi semata.
Ramadhan di mata manusia
Di kebanyakan manusia, Ramadhan tidak lebih dari sekadar menahan lapar dan haus di siang harinya dan berkumpul; dan hingar bingar di malam harinya. Hal ini senada dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, dimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Suatu saat nanti, orang yang berpuasa tidak akan mendapat apa-apa selain lapar dan dahaga saja; dan orang yang berdiri untuk sholat malam, tidak akan mendapat apa-apa selain rasa kantuk saja”. (HR. An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Terlepas dari hal itu, hari ini manusia (baca: kaum Muslimin) mulai menganggap biasa bahkan mulai menikmati dari ketidaktaatan dan perbuatan dosa yang mereka lakukan, bahkan termasuk juga dosa besar yang mereka lakukan. Seperti anggapan biasa dan wajar ketika mereka melakukanikhtilat dengan bukan mahramnya, memandang atau melirik perempuan, hingga perbuatan tidak Islami mereka yang menjerumus dalam sesuatu yang haram.
Bahkan hal-hal tersebut mereka lakukan pula di bulan suci Ramadhan tanpa ada rasa takut dan bersalah. Mereka menganggap bahwa perbuatan dosa yang mereka lakukan itu bisa dihapuskan oleh puasa yang mereka lakukan, sebagaimana kebaikan menghapus dosa.
Seperti itulah wajah Ramadhan yang dijelaskan oleh para ulama su’ (jahat) yang mereka itu bekerja dan menjadi corong dari pemerintah korup thaghut. Mereka ingin membuat manusia lalai dan semakin menjauh dari semangat dan tujuan sebenarnya Ramadhan. Dimana Ramadhan adalah bulan perjuangan, bulan berkorban dan bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla. Bukan bulan yang malamnya diisi dengan maksiat agar siang harinya bisa dihapus dengan pahala puasa.
Tujuan dari para ulama su’ dengan menyelewengkan makna sebenarnya Ramadhan yakni tidak lain untuk membuat manusia semakin lalai dari jihad dan tanggung jawab mereka terhadap hal itu. Jadi mereka menghalangi manusia dari seruan jihad dan i’dad. Bahkan jika melihat kondisi di atas, dapat kita lihat dampak yang lebih luar biasa atas penyelewengan ulama su’ itu.
Adapun Ramadhan pada kelompok lain, mereka lebih memperhatikan Ramadhan dari pada kelompok yang diterangkan sebelumnya. Mereka memahami kesucian Ramadhan dan menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan iman, ibadah dan i’tikaf. Di mata mereka, bulan Ramadhan adalah bulan ketaqwaan, kesabaran dan jihad. Namun jihad yang mereka maksudkan, bukanlah jihad yang sesuai dengan penjelasan syar’i. Jihad versi mereka yakni melewati hari-hari di bulan Ramadhan dengan berpuasa pada siang hari dan qiyamul lail di malam harinya. Itulah yang disebut jihad di bulan Ramadhan, menurut mereka.
Orang-orang dalam kelompok jenis ini, akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah kita akan puas mendapat target kecil padahal kita bisa meraih target yang besar di bulan Ramadhan? Bukankah Ramadhan merupakan sarana untuk medapat target yang lebih tinggi?”
Kelompok jenis ini, mengingatkan kami pada seorang ikhwan yakni, seorang Sarjana sholeh benama Fudhail bin Iyyad. Dimana dia rela melepaskan jihad di bulan Ramadhan demi meraih keutamaan untuk beribadah dan menyibukkan diri di Haramain. Dan ingatkah kalian kisah Abdullah bin Mubarok rah, kepada siapakah beliau rah mengirimkan pesannya (yakni kepada ulama terkemuka Fudhail bin Iyyad rah –pent) yang berbunyi,
“Wahai para ‘abid al-Haramain (orang-orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh di Haramain). Jika kalian melihat kami, pasti kalian akan menyadari bahwa ibadah kalian hanyalah sekadar “candaan” semata. Pipi kalian basah karena air mata, sedangkan dada kami basah karena aliran darah kami...”
Jadi apa yang bisa dikatakan Mujahidin, melihat Umat Islam yang terdiri dari jutaan kaum Muslimin, mereka puas menghabiskan siang dan malamnya di bulan Ramadhan hanya dengan ibadah dan puasa mereka saja dan itu pun di selain Haramain. Sedang mereka merasa cukup dengan itu. Dimana kesibukan ibadah mereka, membuat mereka lalai dari jihad fi sabilillah dan enggan untuk memberi bantuan kepada Mujahidin.
Maka kepada mereka itu, saya tidak bisa memberi nasihat yang lebih baik kepada mereka, selain dengan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
Dikisahkan oleh Abu Hurairah R.A., “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku amal yang bisa menyamai pahala jihad?’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tidak menemukannya.’ Lalu Rasulullah berkata, ‘Selama kaum Muslimin pergi untuk berperang, maka dapatkah kamu memasuki masjid kemudian sholat tanpa henti sembari berpuasa tanpa berbuka, hingga mereka pulang?’ Maka laki-laki itu berkata, ‘Tapi siapa yang bisa melakukan hal itu?’.”
Abu Hurairah R.A. menambahkan, “Mujahid itu akan selalu mendapat pahala, bahkan untuk setiap jejak langkah kudanya ketika berkeliling saat digembalakan yang diikat pada tali yang sangat panjang.” (HR. Bukhari, Juz 4, Nomor 44).
Maka saya katakan bahwa tulisan ini ditujukan kepada mereka yang menjunjung tinggi panji-panji Islam dan memenuhi hak-haknya. Mereka yang telah mengambil langkah pertamanya di jalur perubahan, yakni suatu jalan yang telah kita tunggu-tunggu untuk bergabung dengannya sejak kecil dan merupakan sarana dan sumber daya yang selalu kita cari.
Merekalah kelompok-kelompok yang telah menjual jiwa dan keinginanya untuk Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam kondisi menyenangkan ataupun susah. Mereka menghabiskan seluruh waktu, tenaga, harta, sarana dan sumber daya mereka untuk fi sabilillah. Dan mereka tidak takut terhadap celaan dari para pencela.
Merekalah kelompok-kelompok yang selalu berdiri tegak di jalan Allah dan Sunah RasulNya. Mereka akan selalu berdiri melindungi kehormatan Rabbnya dan RasulNya, sebagaimana mereka melindungi anak dan keluarganya. Merekalah yang menghidupkan kembali memori dari Baiat Aqabah. Di jalan Allah-lah mereka berhijrah dan meninggalkan segala sesuatunya. Hanya untuk mencari tempat aman untuk berlindung sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabilillah dan untuk beribadah kepada Alloh saja.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)… (QS. Al Anfal:60).
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
“…Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan… (QS. Al-Anfal: 72)
Mereka adalah kelompok yang hidup untuk agama-Nya dan mengikuti seluruh syariat-Nya. Mereka abdikan dirinya untuk beribadah dan selalu taat kepada Alloh semata. Baik dalam kondisi lapang maupun sempit.
Maka untuk mereka inilah pesan saya tulis.
Ramadhan bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi alat untuk mencapai tujuan. Ramadhan adalah bulan kesabaran dan pemurnian jiwa. Sehingga bagi mereka yang tidak mampu meraih semua itu selama bulan Ramadhan, maka merekalah orang yang paling merugi.
Karena kesabaran merupakan kunci sukses di dunia dan akhirat. Dan jihad adalah puncak dari kesabaran, pengorbanan dan tazkiyatun nafs. Maka orang yang tidak berencana mempersiapkan diri untuk jihad fi sabilillah, dia adalah orang yang sangat merugi di dunia dan akhirat; bahkan bukan merupakan bagian dari umat ini. Tapi dia termasuk dari golongan orang-orang munafik, sebagaimana penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِغَزْوٍ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang mati tanpa memiliki keinginan untuk pergi berjihad atau tidak pernah berpikir sedikitpun untuk pergi berjihad. Maka dia mati dalam salah satu cabang kemunafikkan.”(HR. Muslim: 3533).
Bulan Ramadhan merupakan salah satu pintu masuk jihad fi sabilillah. Karena pada bulan ini, nafsu kita dikekang (baik keinginan untuk makan dan nafsu seksual). Dan ini merupakan dua nafsu yang harus dikekang saat seseorang memasuki medan jihad.
Namun, kebanyakan manusia menganggap remeh hal ini. Bahkan dapat kita lihat banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak sanggup menahan dua nafsu mereka itu selama Ramadhan. Ketika malam harinya mereka memuaskan kedua nafsu mereka itu. Seolah-olah itu merupakan pengganti atau kompensasi dari waktu siang. Dengan berpikir bahwa dosa mereka akan dihapus dengan puasa mereka. Jadi akhirnya ketika Ramadhan telah pergi, maka mereka tidak memperoleh apa-apa. Karena segala amal sholeh mereka yang berlipat ganda itu dilebur oleh dosa-dosa mereka.
Setiap waktu yang kita lewati dalam bulan Ramadhan harus kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk memupuk kesabaran dan ketakwaan kita. Karena tujuan dari puasa Ramadhan yakni melatih kesabaran dan ketakwaan kita hingga tingkat yang tertinggi. Sehingga ketika dikumandangkan seruan jihad, maka kita tidak lengah dan segera menyambutnya. Karena jihad merupakan puncak tertinggi dari ketakwaan dan kesabaran. Bersambung…